Pendahuluan
Salah satu faktor yang menentukan berhasilnya perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan adalah kepiawaian tokoh-tokoh militer dan sipil dalam memobilisasi seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam membantu perjuangan. Di antara lapisan masyarakat yang tidak kalah penting dalam membantu perjuangan kemerdekaan itu adalah kaum wanita. Ada beragam aktivitas kaum wanita dalam periode revolusi kemerdekaan di Sumatera Utara. Diantaranya adalah aktivitas wanita sebagai Barisan Srikandi, mata-mata atau kurir, dan palang merah.
Barisan Srikandi
Setelah terbentuknya Barisan Pemuda Indonesia (BPI) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Medan, maka dengan cepat cabang-cabang BPI bermunculan di daerah Sumatera Utara. Para pimpinan TKR dan BPI tidak hanya
merekrut kaum pria saja, tetapi juga menerima kaum wanita yang merasa terpanggil untuk ikut mempertahankan Kemerdekaan Indonesia . Selain itu, para komandan 3BPI dibentuk di Medan pada tanggal 22 September 1945 oleh sejumlah tokoh pemuda bekas anggota Gyugun dan Heiho dan TKR Sumatera Utara dibentuk tanggal 7 Oktober 1945.[1]
Tentang pembentukan kedua lembaga ini baca, lasykar rakyat juga ikut melatih kaum wanita di kesatuannya masing-masing dalam usaha mengahadapi setiap ancaman terhadap kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan. Proses pembentukan Barisan Srikandi memang tidak bias dilepaskan dengan riwayat BPI, TKR, dan lasykar rakyat di Sumatera Utara. Seruan untuk segera memasuki pusat pelatihan TKR, segera mendapat tanggapan dari sebagian kaum wanita di Sumatera Utara. Tidak mengherankan jika pada masa itu, kaum wanita dari Binjai, Siantar, Kabanjahe, dan Tebing Tinggi ikut bergabung di Jalan Asia Medan untuk mengikuti latihan.
Dalam pusat pelatihan itu mereka diberi pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan masalah pembelaan terhadap proklamasi kemerdekaan, seperti latihan menggunakan senjata, kepalangmerahaan, dapur umum, mata-mata dan kurir. Semuanya berkaitan erat dengan persiapan mengahadapi pertempuran dengan pasukan asing yang akan menjajah kembali Indonesia .[2] Dari sinilah kemudian mereka membentuk Barisan Srikandi Indonesia yang juga mendirikan pusat-pusat pelatihan untuk menggembleng para wanita menjadi tenaga perjuangan membantu kaum pria di medan tempur melawan Belanda.
Di antara pusat latihan itu adalah di Jalan Duyung dengan pelatihnya antara lain Nurmala Dahlan. Di pusat latihan ini ada tiga angkatan, yang masingmasing angkatan berjumlah 60 orang. Mereka berasal dari berbagai daerah di Sumatera Utara seperti, Binjai, Kisaran, Siantar, dan sebagainya. Setelah mendapatkan pelatihan mereka kembali ke daerahnya masing-masing membentuk
pusat latihan sejenis.
Di Tanah Karo beberapa orang wanita Karo yang sudah bersedia menjadi Srikandi dikumpulkan di Asrama Palang Merah TKR Kabanjahe. Batalion III Resimen IV mengutus kesepuluh orang itu ke Medan (Jalan Duyung) untuk mengikuti latihan Srikandi selama satu bulan. Mereka diajarkan tentang Tata Negara, Sejarah, pertolongan pertama yang dilaksanakan pada waktu malam, dan latihan ketenteraan pada waktu siang hari. Setelah selesai latihan mereka kembali ke Kabanjahe dan dikirim ke kecamatan-kecamatan untuk membangun Barisan Srikandi di Tanah Karo.
Dengan cara demikian, maka dengan cepat di seluruh pelosok Tanah Karo berdiri Barisan Srikandi yang siap membantu TKR mempertahankan kemerdekaan Indonesia . Peran mereka sangat penting misalnya penjahit tanda pangkat untuk TKR, meminta sumbangan untuk dana perjuangan kepada masyarakat, menyebarkan lencana merah putih di kalangan masyarakat desa, dan melaksanakan kegiatan PMI dan dapur umum. Di samping itu tidak jarang mereka juga ikut memanggul senjata dan menjadi mata-mata atau kurir bagi pasukan republik. Beberapa kesatuan lasykar rakyat juga merekrut kaum wanita sebagai pejuang revolusi. Chadidjah, atas perintah M. Yakub Siregar dan Saleh Umar memobilisasi kekuatan wanita di seluruh daerah yang terdapat pasukan Harimau Liar (BHL) dan Napindo Halilintar.
Di seluruh Sumatera Timur, Tapanuli, dan Aceh Timur kedua kesatuan lasykar rakyat itu membentuk Barisan Srikandi. Tempat pelatihan mereka ada di Kota Gadung Tanah Karo, Bah Butong, Bah Birong Ulu dan Kebun Susu di Simalungun. Pasukan Harimau Liar dan Napindo Halilintar, melatih kaum wanita untuk siap melakukan perang gerilya, membunuh musuh, menjadi penghubung, mata-mata, palang merah, masak di dapur umum, memberikan penerangan dan bimbingan kepada masyarakat pedesaan.
Kaum wanita yang masuk dalam Barisan Srikandi mendapat latihan dasar kemiliteran dari para pemuda mantan Heiho dan Gyugun. Oleh karena itu model latihannya mirip dengan militer Jepang. Mereka misalnya diajarkan latihan baris berbaris, kedisiplinan, bela diri, teknik menyamar, cara menggunakan senjata dan
sebagainya. Seorang mantan anggota barisan putri Lasykar Barisan Harimau Liar di Langkat menyatakan; Latihannya itulah kalau ibaratnya ada yang kena pelor, kita belajar merawat, membungkusnya pakai perban, mengangkatnya pakai tandu,
dites lari, kadang-kadang diajari menggunakan senjata karben, sumpit. Asal latihan kami dikasih satu seorang. Kami latihannya di daerah Timbang Langkat, di perkebunan-perkebunan.
Ketika Barisan Srikandi melakukan pelatihan, Belanda melakukan serangan terhadap sejumlah basis-basis tentara republik. Para Srikandi itupun bersama-sama dengan kaum pria mengadakan perlawanan, sebagai anggota palang merah, matamata, penghubung dan juga menjalankan serangkaian aksi sabotase di daerah pendudukan Belanda. Mirah Rosalina Mingranti[3] misalnya, memulai kegiatannya di Barisan Putri Indonesia di Jalan Thamrin Medan . Dalam BPI ia ditugaskan sebagai mata-mata. Setelah menjalani latihan militer di pusat latihan TKR dan BPI ia kemudian berangkat ke Pulau Berayan untuk bergabung dengan pasukan Bedjo. Bersama-sama dengan suaminya yang tidak lain adalah Bedjo, ia pernah melakukan serangan terhadap basis-basis militer Belanda, seperti di Kamp Helvetia . Ia juga sering menyerang konvoi militer Belanda di Jalan Medan -Belawan. Dalam serangan itu sering ia berhasil mendapatkan senjata pasukan Belanda.
Pada masa itu pasukan Bedjo sangat ditakuti oleh pihak Belanda maupun Inggris. Mereka menganggap daerah sekitar koridor Jalan Medan Belawan menjadi daerah maut bagi pasukan Belanda. Oleh karena itu perjalanan pasukan Belanda yang selalu didatangkan dengan kapal laut melalui Pelabuhan Belawan menjadi terancam oleh aksi-aksi pasukan Bedjo. Akibatnya basis pasukan yang berada di bawah pimpinan Bedjo dan Mirah menjadi sasaran penggerebekan pasukan Belanda. Mirah dan pasukan Bedjo kemudian mundur ke Saentis dan Sampali.
Setelah Agresi Militer I dan II, Mirah dan pasukan Bedjo mengundurkan diri ke ke Aek Nabara, Huta Godang dan Gunung Tua. Di daerah Gunung Tua, Mirah seringkali diundang oleh para Kepala Kampung untuk memberikan penerangan kepada penduduk tentang pentingnya memupuk semangat perjuangan, persatuan, kebersamaan, dan tentang kelaskaran. Kisah perjuangannya berakhir dalam tahanan militer Belanda, ketika dalam aksi sabotase di Pematang Siantar , ia ditangkap oleh pasukan Belanda.[4] Dalam tahanan militer Belanda di Pematang Siantar ia tidak pernah mau memberikan informasi tentang pasukan Bedjo. Akibatnya ia selalu mendapat siksaan yang kejam. Siksaan yang sangat berat ini dijalani sampai akhir tahun 1949, saat Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia .
Kisah menarik lainnya dari salah seorang anggota Barisan Srikandi di Sumatera Utara juga dialami oleh Siti Zalecha.[5] Pada saat tentara Sekutu menyerang basis pertahanan tentara republik di Jalan Asia , barisan Srikandi yang dipimpin oleh Rajiem dan Siti Zalecha bersama-sama dengan lasykar rakyat bahu membahu menghadapi serangan itu. Barisan srikandi ada yang ditempatkan di dapur umum, PMI dan ada yang langsung di tengah-tengah pertempuran. Dalam pertempuran itu, TKR Divisi IV dibawah komandannya A.Tahir mundur ke daerah Berastagi dan kemudian ke Pematang Siantar.
Barisan srikandi ikut mengungsi bersama-sama. Siti Zalecha bersama dengan suaminya Kapten TRI Ruslan ikut berjuang di Berastagi, Pancur Batu, Pematang Siantar, Lawe Sigalagala, dan di Kuta Cane. Di dua daerah yang disebut terakhir itu, Siti Zalecha kemudian aktif di bidang pendidikan. Ia memberantas buta aksara secara massal. Anggota Barisan Srikandi pada saat tertentu juga ikut memanggul senjata di garis depan. Kamisah[6] misalnya, dipersenjatai dengan sepucuk Karaben danditugaskan oleh komandannya untuk berjaga-jaga di Stasiun Kereta Api Tembung, Kebun Pisang, dan Aras Kabu. Dalam sebuah kesempatan, Sakti Lubis menugaskan Kamisah dan anggota lasyar lainnya untuk menyerang Belanda yang berada di Kebon Pisang[7]. Kamisah dan teman-temannya Kartini, Tasmiah, dan Tince terlibat dalam pertempuran selama sekitar tiga jam. Dalam pertempuran itu Belanda menggunakan pesawat udara untuk memukul mundur seluruh pasukan republik. Akibatnya para pejuang mengundurkan diri ke Tanjung Morawa dan kemudian ke Tapanuli dengan meningalkan banyak korban, termasuk masyarakat umum. Untuk mengurusi para korban pertempuran dibutuhkan tenaga palang merah yang juga banyak diperankan oleh kaum wanita.
Palang Merah
Palang Merah Indonesia dibentuk pada tanggal 17 September 1945 di Jakarta dan mulai menampakkan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat sejak tanggal 19 September 194511 Di Sumatera Utara, kehadiran PMI tidak dapat dipisahkan dengan pembentukan B.P.I. dan Barisan Srikandi, yang muncul akhir tahun 1945. Keterkaitan itupun bisa dimengerti mengingat kaum wanita yang mengikuti latihan di pusat pelatihan di Jalan Duyung, Jalan Asia dan lainnya, juga
diajarkan tentang kepalangmerahan.
Sebenarnya PMI di Sumatera Utara dibentuk di setiap kesatuan lasykar dan tentara republik. Pembentukannya sebagaimana dituturkan para informan, berdasarkan inisiatif para komandan pasukan itu sendiri, bahkan tidak jarang para
komandan itu sendiri bertindak sebagai instruktur atau pelatih bagi para anggotanya. Bedjo misalnya sebagai salah seorang komandan pasukan bertindak langsung sebagai instruktur atau melatih para wanita yang bergabung dalam pasukannya cara-cara merawat korban dan tidak jarang dia langsung yang mengambil peluru dari para korban.[8]
Di samping itu beliau juga yang berusaha mencari obat-obatan bagi keperluan pasukannya. Para anggota PMI juga sekaligus sebagai anggota pasukan tersebut. Anggota PMI memang bukan didominasi oleh kaum wanita saja, melainkan juga kaum lakilaki. Bahkan pengurus PMI Tanah Karo yang dibentuk setelah pembentukan BPI bulan Oktober 1945 semuanya adalah kaum laki-laki dengan ketuanya dr. Marjono. Di front Medan Tembung anggota wanita PMI Napindo Andalas Utara sekitar 14 orang dan anggota wanita PMI Napindo Medan Utara berjumlah sekitar 15 orang sebagaimana dikatakan Rohaya, Rajmah dan Marinten kepada penulis.
Pada dasarnya keterlibatan mereka dalam PMI karena desakan situasi, meski ada beberapa kasus dilatar belakangi oleh masalah pribadi. Di samping itu mobilisasi dan penyebaran berita proklamasi oleh para anggota BPI/TKR yang dilakukan sampai ke kampung-kampung telah berhasil menggugah kesadaran kaum wanita untuk ikut memecahkan persoalan bangsa yang sedang diancam oleh
kekuatan militer Belanda. Demikian juga dengan adanya tindakan teror dan agitasi
yang disertai dengan ancaman fisik terhadap masyarakat oleh Belanda juga telah mempertebal semangat kaum wanita untuk membela Republik Indonesia . Mereka menjadi terpanggil untuk ikut membantu menolong korban-korban pertempuran, baik dari kalangan tentara dan lasykar atau masyarakat luas. Kondisi ini yang menyebabkan mereka mau memasuki pusat-pusat pelatihan untuk menjadi tenaga PMI atau menjadi perawat di rumah sakit- rumah sakit.
Dari situlah mereka secara bergantian membawa korban dengan tandu berjalan kaki sampai ke Tembung. Bagaimana gawatnya keadaan waktu itu dijelaskan oleh Rajmah sebagai berikut: “Kalau dipikir ya mengurusi korban-korban yang kena, yang mati, oh.. kamilah itu. Di Sungai Tembung itu, dimana airnya dibawah berputar, di situlah kami mengangkati para korban pertempuran terus dibawa menyeberang menuju ke gardu PMI di Tembung. Saat itu di atas kapal terbang musuh terus melayang-layang memuntahkan pelurunya dan dibawahnyalah kami dengan tandu membawa para korban....” Pada masa itu Rumah Sakit Umum Medan menjadi tempat merawat para korban pertempuran di front Medan Timur dan sekaligus tempat persembunyian para pejuang kemerdekaan.
Dengan demikian tidak mengherankan apabila kemudian rumah sakit itu digrebek oleh pasukan Belanda. Dalam sebuah penggrebekan, Nurmala Dachlan berhasil ditangkap Belanda dan kemudian di penjara di Jalan Durian. Namun rekannya, Nur Amrah Lubis berhasil lolos dan kemudian bergabung dengan pasukan Brigade B dan ditugaskan di bagian kesehatan dengan daerah operasi Labuhan Batu dan Tapanuli Selatan. Mengangkat dan memberi pertolongan bagi para korban pertempuran di medan pertempuran memerlukan tingkat keberanian yang tinggi.
Setelah darah tidak mengalir, baru diusahakan untuk mengeluarkan peluru dari tubuh si korban. Proses itupun sangat sederhana sekali, dengan hanya menggunakan pisau. Sarang tawon kuntur pun dipakai sebagai obat untuk menghilangkan infeksi pada luka atau menghilangkan bengkak/memar dikulit. Mengatasi para korban yang terkena peluru dan lukanya sudah terlanjur membusuk, dilakukan amputasi. Proses itupun sebenarnya secara medis tidak boleh dilakukan. Akan tetapi mengingat situasi darurat dan korban sudah tidak tahan lagi menderita, maka terpaksa hal itu dijalankan.
Mata-Mata atau Kurir
Satu lagi peranan wanita yang penting adalah mata-mata atau kurir. Matamata adalah satu hal yang sangat penting dalam mendukung gerakan militer, baik untuk menghindar atau menyerang basis pertahanan musuh. Di Sumatera Utara pada masa revolusi untuk orang yang menjalankan kegiatan mata-mata ini dikenal dengan sebutan seko. Tidak diketahui berasal dari bahasa apa sebutan seko ini, tapi yang jelas istilah ini dikenal luas di daerah operasi tentara republik seperti di Tanah Karo dan juga di daerah Medan Timur.
Pada umumnya dalam kesatuan-kesatuan tentara atau lasykar rakyat, seko ditempatkan dibagian unit sabotase. Dalam kegiatannya seorang seko, biasanya ditugaskan untuk menyamar sebagai masyarakat biasa; petani atau pedagang. Mereka disusupkan ke daerah musuh untuk mengamati atau mencari tahu tentang kekuatan militer Belanda. Dalam aksinya mereka terkadang menyamar sebagai pedagang sayur atau buah-buahan di daerah pendudukan Belanda. Setelah dagangannya terjual, mereka menyempatkan diri untuk mencari tahu tentang keadaan pasukan Belanda.
Di daerah Labuhan Batu, tepatnya di Kota Rantau Prapat pernah ditempatkan di sana seorang wanita anggota unit sabotase pasukan Bedjo. Wanita yang bernama Kardiyem ini ditugaskan oleh pasukan Bedjo untuk mencari informasi tentang pergerakan militer Belanda di daerah tersebut. Ia diperintahkan untuk menyamar sebagai penjual buah pisang dan kue di daerah itu. Dalam menjalankan tugasnya, Kardiyem pertama menjual kue ke pasar, kemudian dari hasil jualan itu ia beli pisang untuk di jual ke dapur umum tentara Belanda. Semuanya dilakukan tanpa pamrih, dan soal bagaimana makan itu ia usahakan sendiri. Dengan cara demikian ia hampir setiap hari masuk ke dapur umum tentara
Belanda, tanpa diketahui oleh tentara Belanda bahwa ia adalah seorang mata-mata
pasukan Bedjo.
Menurut pengakuannya, hampir setiap minggu ia mendapatkan informasi dari dapur umum itu tentang daerah-daerah mana yang akan dijadikan sasaran serangan militer Belanda. Informasi penting ini kemudian diberitahukan kepada para pejuang yang akan datang pada petang hari ke rumahnya. Cara yang dipergunakan cukup sederhana sekali yakni selesai mengantar pisang ke dapur umum, ia pura-pura beristrirahat sambil mencuri dengar apa yang dibicarakan oleh anggota tentara belanda yang sedang makan di dapur umum itu. Oleh karena penyamaran yang sangat rapi Belanda sama sekali tidak menyangka ia adalah anggota pasukan Bedjo. Sayang ia tidak dapat mengingat kembali secara tepat informasi yang pernah ia peroleh. Hanya menurutnya Belanda akan menyerang Air Batu dan Si Gambal.
Di samping itu, mereka juga berperan sebagai pembuka jalan bagi pasukan
republik yang akan bergerak serta berperan sebagai kurir untuk menyampaikan informasi baik dari daerah pendudukan atau juga dari satu markas tentara atau lasykar rakyat ke markas lainnya di daerah republik. Sebagaimana yang dilakukan
oleh Salbiyah, salah seorang anggota pasukan Bedjo yang ditugaskan sebagai mata-mata selama perjalanan mengungsi ke Daerah Simalungun. Ia menjelaskan, bahwa pasukan Bedjo selalu bergerak pada malam hari. Sebelum bergerak, ia dan
beberapa temannya berjumlah 5 orang ditugaskan untuk menyelidiki daerah yang
akan dilaluinya. Bila tidak ada musuh ia memberikan kode khusus, yakni menirukan suara burung, kode yang langsung diajarkan oleh Bedjo.
Pada bulan Maret 1949, pemerintahan gabungan sipil dan militer atau dikenal dengan pemerintahan gerilya membentuk pertahanan rakyat semesta (PRS). Di daerah yang dikuasai TNI baik di Tapanuli dan Sumatera Timur PRS memainkanperanan penting. PRS dikendalikan oleh para kepala desa dan berada langsung di bawah Komandan TNI setempat. Organisasi PRS memberikan dukungan kuat bagi operasional TNI di lapangan, misalnya memberikan makanan, perlindungan dan informasi kepada unit-unit TNI. Wanita memainkan peranan penting dalam organisasi PRS ini, khususnya dalam menyampaikan informasi dari daerah pendudukan ke markas-markas TNI yang dilakukan melalui surat .[9]
Sebelum serbuan militer Belanda tahun 1947 ke basis-basis militer republik di Medan Area, sebagian wanita mengikuti pelatihan militer yang diadakan oleh TKR dan Lasykar Rakyat. Boleh dikatakan bahwa sebagian besar mereka adalah kalangan terdidik perkotaan, yang memiliki kesadaran politik. Rata-rata mereka adalah anggota atau bahkan pimpinan organisasi pada masa pendudukan Belanda, Jepang dan setelah proklamasi, seperti Partindo, Fujinkai, Perwari dan lain-lain. Di antara mereka yang kemudian berhasil menamatkan pendidikan di TKR, mendirikan pusat-pusat pelatihan bagi wanita pejuang di Medan maupun di tempat-tempat lainnya di Sumatera Utara.
Mereka sebenarnya adalah sebagian wanita yang menjadi bagian dari revolusi dan telah melakukan persiapan-persiapan menghadapi kemungkinan serangan militer Belanda terhadap Republik Indonesia . Sebagian wanita juga merasa bagian dari revolusi karena apa yang dilakukan oleh suaminya, sedangkan lainnya karena terbawa oleh situasi revolusi yang tidak menentu. Beberapa informan menyatakan keikutsertaannya mengungsi ke daerah republik karena banyak orang lain atau teman-temannya mengungsi. Mereka sadar, ikut laskar berarti perang dan maut. Akan tetapi karena beramai-ramai perasaan takut menjadi hilang dan larangan orang tuapun tidak digubris. Mereka menjadi wanita yang terbebas dari ikatan keluarga dan bahu-membahu bersama kaum pria menjadi pejuang revolusioner[10].
Penutup
Dalam kasus tertentu wanita terlibat dalam perang kemerdekaan adalah karena balas dendam atau sakit hati terhadap Belanda. Perasaan itu muncul mengingat anggota keluarganya, seperti orang tuanya, suaminya dibantai oleh Belanda. Perasaan dendam itu dapat muncul tidak hanya karena ada anggota keluarganya yang dibantai Belanda, tetapi karena setiap hari mereka melihat aksiaksi teror yang kejam dari militer Belanda terlihat di sekitar mereka. Aksi teror dan penyiksaaan yang tidak hanya dilakukan terhadap pejuang, tetapi juga terhadap masyarakat bahkan terhadap anak-anak kecil.
Selama revolusi, para wanita pejuang memiliki pengalaman-pengalaman karena ikut bergerilya bersama pejuang pria. Mereka bebas untuk menentukanpilihan pendamping hidupnya. Rata-rata mereka berkeluarga dengan sesame pejuang. Namun masa revolusi itu, tidak mengubah relasi antara pria dan wanita. Dalam persfektif gender, pola hubungan itu masih tetap dalam dominasi kultur patriakhi. Dalam realitasnya meskipun beberapa diantara mereka ikut bertempur dan menjadi pimpinan Barisan Srikandi, namun posisi mereka tetap menjadi pelengkap perjuangan kaum pria. Tidak satupun ada komandan atau pimpinan dalam kesatuan-kesatuan tempur pasukan republik yang dipegang oleh kaum wanita. Selama masa pengungsian, wanita tetap menjalankan tugas sebagai perawat, menyediakan perbekalan, termasuk bahan makanan/obat-obatan untuk mendukung perjuangan kemerdekaan.
DAFTAR PUSTAKA
Adam Malik. 1970. Riwayat Proklamasi Agustus 1945. Jakarta : Widjaya Djakarta.
Biro Sejarah Prima. 1976. Medan Area Mengisi Proklamasi Kemerdekaan. Medan : Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area.
Edi Saputra. 1985. Bedjo Harimau Sumatera Dalam Kemerdekaan. Jakarta : Yayasan Bina,Satria.
Fauzi Rizal dkk (ed.). 1993. Dinamika Gerakan Perempuan Indonesia . Yogyakarta : Tiara, Wacana.
Lucas, E. Anton, "Wanita Dalam Revolusi: Pengalaman Selama Pendudukan dan
Revolusi, 1942-1950", dalam Prisma, N0.5-1996, Jakarta , LP3ES
Reid, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta : Sinar Harapan.
Sukanti Suryochondro. 1984. Potret Pergerakan Wanita di Indonesia. Jakarta : CV Rajawali.
Surbakti, A.R. 1978. Perang Kemerdekaan di Karo Area Jilid I. Medan: Yayasan Pro Patria.
[1] Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengisi Kemerdekaan, Medan : Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, 1976, hlm. 111 dan 752-754.
[2] Menurut laporan Nurmala Dahlan (mantan pelatih Barisan Srikandi Jl. Dyung Medan, Anggota PMI Brigade B, Pasukan Bedjo) ada sekitar 30 orang anggota wanita, termasuk dirinya yang engikuti pelatihan di pusat-pusat pelatihan kilat TKR. Setelah tamat dari pusat latihan itu mereka diberi pangkat, yang tertinggi sersan dan lainnya kopral.
[4] Edi Sahputra, Bejo Harimau Sumatera dalam Perang Kemerdekaan, Yayasan Bina Satria
1945, Jakarta , hlm. 68-69.
[5] Ia adalah Wakil Kepala Barisan Srikandi Divisi IV TKR Sumatera Timur yang bermarkas di Jalan Asia Medan .
[6] yang bergabung dengan Lasykar Rakyat Napindo dibawah pimpinan Sakti Lubis
[7] Zuraida Zainal, Serumpun Melati di Bumi Pertiwi, Medan : Tanpa Penerbit, 1985, hlm. 8-9.
[8] Lasmidjah Hardi, Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi, Jakarta : Sinar Harapan, 1984, hlm. 56.
[9] Surat-surat tersebut selalu dikirim melalui wanita-wanita muda. Surat itu yang biasanya hanya selembar daun yang lebar atau secarik kertas kecil, harus dibawa dalam bentuk lipatan-lipatan dan diikat ke dalam rambut wanita muda itu.
menghadapi militer Belanda.
[10] Mereka sebagian besar adalah kaum wanita yang pada masa itu berumur belasan tahun (12-15).
Tulisan ini sptnya makalah saya yg pernah saya presentasikan dlm kongres sejarah thn 2006 di jakarta. Mohon tanggapan dari sdri. Seharusnya disebutkan asal penulisnya.
BalasHapusTulisan ini sptnya makalah saya yg pernah saya presentasikan dlm kongres sejarah thn 2006 di jakarta. Mohon tanggapan dari sdri. Seharusnya disebutkan asal penulisnya.
BalasHapusijin menggunakan sebagai referensi tugas. Terimakasih
BalasHapus