Sempu island

Sempu island
featuring cicak rebel

Selasa, 10 Agustus 2010

Aida's Article

Upaya Pembauran Etnis Cina ke dalam Masyarakat Indonesia melalui Karya Sastra (1925-1935)

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Etnis Cina melakukan pencarian identitas dalam upaya-upaya pembauran terhadap kaum Indonesia melalui berbagai macam cara. Hal ini diantaranya disebabkan oleh kondisi sosial etnis Cina yang penuh penghinaan. Kaum laki-laki etnis Cina misalnya, mereka masih memakai kucir yang dililit pita merah yang disebut sebagai “orang lolong”.[1] Sebutan ini merupakan penghinaan bagi orang Cina karena dianggap rendah. Ruang gerak etnis Cina juga dibatasi dengan menempatkan mereka di pemukiman tertentu. Kondisi ekonomi etnis Cina pada masa kolonial juga tidak lebih baik. Tarif pajak yang dikenakan kepada etnis Cina jauh lebih besar dibandingkan orang-orang Belanda. Keadaan ini diperparah dengan kedudukan hukum yang rendah dan tidak adanya perlindungan hokum.
            Upaya-upaya pembauran dilakukan di berbagai bidang kehidupan, salah satunya melalui karya sastra. Pembauran karya sastra ini antara lain novel, roman, sajak, dan cerpen, khususnya karya sastra Melayu Cina.[2] Sastra Melayu Cina ditulis oleh etnis Cina[3] pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sebelum penerbitan sastra modern oleh masyarakat Indonesia. Etnis Cina pada umumnya sudah lama menetap di Hindia Belanda dan sudah tidak dapat berbicara bahasa Cina lagi. Kebanyakan etnis bekerja pada waktu itu adalah terjemahan Cina klasik seperti Sam Kok dan Sampek Engtai atau adaptasi dari Syair tradisional Melayu. Sastrawan yang dikenal adalah wartawan Lie Kim Hok.[4]
            Bahasa pertama yang digunakan dalam karya sastra, diantaranya: Melayu Rendah (Laag Maleisch), Pasar Melayu, atau Melayu Pasar (Passermaleisc). [5] Penggunan bahasa ini kebanyakan hanya mendapat sedikit perhatian dari masyarakat Indonesia. Karya yang menggunakan bahasa Melayu Tinggi (Hoog Reserved) memeroleh penghargaan yang labih baik. Sastra etnis memutar novel, cerita pendek dan esai, sebagian besar berisi tentang masyarakat etnis Cina-Indonesia yang mencapai puncak tahun 1920 dan 1930-an.[6]
            Sastra Melayu Cina sudah tidak ada setelah perang Dunia Ke II, karena semua orang Cina Indonesia telah belajar bahasa Indonesia baku. Masih banyak juga pengarang dari kelompok Cina-Indonesia, tetapi karangan mereka tidak lagi menceritakan kehidupan keluarga Cina, mereka sudah bercerita tentang orang Indonesia, pada umumnya dalam bentuk Cerita Pendek (cerpen)[7]. Cerpen-cerpen tersebut banyak dimuat dalam surat kabar atau majalah, seperti Sin Po, Sin Tit Po, dan Liberty.[8]
            Etnis Cina seperti Leo Suryadinata, Tjoe Bou San, Kwee Tok Hoay, Soe Lie Piet, Liem Khing Hoo, Pouw Kioe An, Ong Ping Lok, Njoo Cheong Seng dan Tan Tek Ho dikenal sebagai peneliti etnis yang hebat waktu itu.[9] Karya Sastra Melayu Cina menggambarkan dinamika yang terjadi semasa puncak Pax Nederlandica[10] dan beberapa dekade awal kemerdekaan Indonesia. Dari sana dapat dirasakan bagaimana hidup di zaman itu dan bagaimana hubungan sosial yang terjadi di masyarakat pada masa kisah tersebut ditulis.
            Interaksi sosial dalam masyarakat juga terbaca jelas. Seperti karya-karya Thio Tjin Boen yang mempunyai ciri khas penggambaran masyarakat etnis Cina dalam interaksi dengan etnis lain, seperti Jawa, Sunda, Arab dan sebagainya. Ia bahkan menyatakan konflik antara masyarakat totok yang menyebut dirinya singke’ dengan golongan etnis, karena adanya sifat, kebiasaan dan pola pikir yang berbeda.
            Gambaran sejarah lain juga terungkap jelas dalam kisah-kisah tentang perkembangan organisasi Tiong Hoa Hwe Koan (THHK), potret perempuan di zaman kolonial, organisasi perempuan yang sulit berkembang, dan emansipasi kaum perempuan melawan kungkungan tradisi untuk meraih cita-citanya. Sebagai suku bangsa yang minoritas, warga keturunan Cina, belum mempunyai kedudukan sosial, politik, dan hukum yang mantap dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Kawin campur yang jumlahnya makin banyak pun tampaknya masih belum bisa menyejajarkan kedudukannya. Hal ini mereka gambarkan dalam karya-karya mereka melakui karya sastra.
            Kebijakan politik turut menyebabkan sastra Melayu Cina tidak begitu diperhitungkan. Antara lain alasannya adalah dalih bahwa karya sastra ini menggunakan Bahasa Melayu Pasar yang dianggap rendah, sementara karya sastra Balai Pustaka yang ditulis menggunakan Bahasa Melayu Tinggi yang dianggap sebagai bagian kebudayaan bangsa.[11] Hampir seluruh karya sastra Tinghoa etnis ditulis dari peristiwa nyata. Hal itu terlihat dari tulisan ‘betoel-betoel kedjadian’ yang ada di hampir setiap buku.[12] Pengarang memindahkan peristiwa nyata menjadi fiksi dengan gaya penceritaan sederhana agar pembaca mudah mencerna makna cerita. Bahasa yang dipakai Sastra Cina cenderung sulit dimengerti.
            Berdasarkan pernyataan di atas muncul berbagai masalah yang mendasari tulisan ini. Tulisan ini bertujuan untuk meneliti lebih jauh bagaimana upaya atau strategi pembauran etnis Cina ke dalam masyarakat Indonesia yang dilakukan melalui karya sastra. Tulisan ini lebih menekankan pada kajian sejarah budaya. Kajian ini menarik karena selama ini penelitian terhadap etnis Cina kebanyakan cenderung berorintasi pada permasalahan politik, dan ekonomi.[13] Masih jarang peneliti yang meneliti permasalahan dalam bidang budaya, khususnya kajian pembauran etnis yang dilakukan melalui media karya sastra.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pernyataan di atas dalam mencari data-data untuk mengungkap upaya pembauran etnis Cina melalui karya sastra periode 1925-1935 dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.         Bagaimana perkembangan pembauran yang dilakukan etnis Cina ke dalam masyarakat Indonesia.
2.         Bagaimana bentuk-bentuk saluran pembauran (saluran budaya) yang digunakan etnis Cina ke dalam masyarakat Indonesia.
3.         Bagaimana usaha-usaha pembauran etnis Cina melalui karya sastra ke dalam masyarakat Indonesia.

PEMBAHASAN
A.  Kedatangan Etnis Cina di Hindia Belanda
Kedatangan orang-orang Cina ke Hindia Belanda tentunya berkaitan dengan pertumbuhan jalur perdagangan melalui laut antara Tiongkok dengan Persia dan India. Di dalam konteks ini Asia Tenggara termasuk Hindia Belanda memainkan peran yang sangat penting karena letaknya yang sangat strategis yang menjadi titik pertemuan perdagangan internasional sehingga Hindia Belanda menjadi tempat persinggahan bagi pedagang-pedagang asing termasuk pedagang Cina, bahkan banyak di antaranya yang kemudian tinggal menetap, menikah dengan wanita setempat hingga mengakibatkan terjadinya pembauran.
            Pola migrasi orang-orang Cina terjadi secara individu dan kelompok kurang dari lima orang. Imigran pertama berasal dari Dinasti Ming karena dialek bahasa yang digunakan mirip dengan etnis Cina di Indonesia saat ini.[14] Mata pencaharian mereka yang pertama yaitu berdagang. Migrasi gelombang kedua tersebut juga berkaitan dengan ikilm politik di Tiongkok yang sangat membatasi gerak orang-orang Cina dan sikap permusuhan pada penguasa Tiongkok yang memang berasal dari luar Tiongkok yaitu Manchuria. Selain masalah politik, keadaan alam yang kurang subur disertai dengan bencana kelaparan juga turut menjadi faktor pendorong migrasi tersebut.
Pemerintah Hindia Belanda melihat kenyataan ini kemudian mulai melakukan politik pecah belah dengan memaksa orang-orang Cina bermukim di tempat-tempat tertentu (wijkenstelsel) untuk memisahkan orang-orang Cina dari penduduk setempat. Untuk keluar dari permukiman tersebut orang-orang Cina harus dibekali surat izin tertentu (passenstelsel). Pemusatan pemukiman orang-orang Cina memang pada awalnya terjadi karena kebiasaan mereka untuk selalu menempati daerah-daerah strategis sepanjang aliran sungai yang menjadi pusat perdagangan, tetapi selanjutnya pemukiman tersebut menjadi semakin khusus ketika pada 1866 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut dengan Wijkenstelsel[15].
Ruang gerak dibatasi agar pemerintah Belanda leluasa mengeksploitasi kekayaan Hindia Belanda karena tidak selamanya Cina menguntungkan Belanda. Kawasan pemukiman Cina diawasi oleh seorang pegawai Cina yang ditunjuk oleh pengurus Belanda yang disebut Babah Mayon.[16] Prinsipnya kekayaan identik dengan orang yang punya kekuasaan dan pengaruh besar dalam sosial politik. Orang Cina ditunjuk karena dia yang akan menjadi penghubung Belanda dan Cina.
Pemerintah Belanda pada 1917, menghapus wijkenstelsel dan tahun 1918 passenstelsel juga dihapus. Akibatnya banyak orang-orang Cina yang mulai keluar dari wilayahnya dan hidup memyebar. Mereka juga bebas bepergian, sehingga di pelosok-pelosok kampung maupun bagian mana saja dapat dijumpai penduduk Cina. Bahkan pada 1866, sejak dihapuskannya dua peraturan tersebut beberapa kawasan telah berubah menjadi Pecinan[17] lebih luas.

B. Masyarakat Cina Masa Kolonial
            Istilah Tionghoa dan Tiongkok[18] berasal dari bahasa Kanton, yaitu salah satu bahasa Cina, dan artinya adalah orang Cina dan negara Cina. Istilah ini selalu dipakai oleh etnis Cina sebelum 1965.[19] Akan tetapi pada tahun itu, di Bandung dalam pertemuan antara Jenderal penting dari ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia)[20] menghasilkan keputusan penggunaan istilah ‘Cina’ ketika menggambarkan masyarakat keturunan Cina di Indonesia, sehingga mengurangi atau menghapuskan perasaan ‘inferior’ dan ‘superior.[21] Oleh karena alasan ini yang melatarbelakangi pengunaan istilah ‘Cina’, masyarakat keturunan Cina merasa istilah ini adalah hinaan dan akibatnya ketika bebicara tentang masyarakatnya mereka memakai istilah Tionghoa dan merasa dihina ketika istilah orang Cina atau Cina dipakai. Sejak itu ada banyak pernafsiran tentang pengunaan istilah Tionghoa dan pengunaan istilah Cina yang seharusnya bisa diterima oleh masyarakat Cina sekarang. Ini karena istilah ini seringkali dipakai masyarakat bukan Cina dan tujuannya digunakan tidak untuk menghina orang-orang keturunan Cina.[22]
            Gubernur Jendral Hindia Belanda pada 1928 secara formal mengakui penggunaan istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok” untuk berbagai keperluan resmi.[23] Penggunaan istilah “Tionghoa” ini hanya bertahan selama 38 tahun saja, karena pada 1966, Orde Baru kembali menggunakan istilah “Cina”. Menarik sekali bahwa istilah “Tionghoa” ini sangat khas Indonesia, karena di Malaysia dan Singapura yang juga banyak dijumpai etnis Cina, istilah “Cina” masih lazim digunakan.[24]
            Keturunan Cina memutuskan untuk menikah dan membangun keluarga dengan warga pribumi. Hal ini disebabkan karena di masa dinasti Ming (Qing) di Tiongkok, keturunan Cina yang meninggalkan tanah airnya akan dilarang untuk kembali lagi ke daratan Tiongkok.[25] Oleh karena itu mereka berusaha untuk menciptakan dan membangun keluarga baru di Hindia Belanda. Kelompok tersebut menggunakan bahasa daerah di tempat tinggalnya sebagai bahasa sehari-hari. Di lain pihak mereka masih menganut adat istiadat Cina seperti berdoa menurut kepercayaan Cina tradisional (atau memperingati tahun baru Cina atau Imlek), sehingga mereka disebut Peranakan Cina.[26]
            Masyarakat totok jumlahnya agak lebih besar daripada masyarakat peranakan. Menurut sensus tahun 1920, di Negara terjajah Indonesia terdapat 809.000 orang Cina, diantaranya 311.000 (38,4%) memergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari (yaitu kaum peranakan); dan 498.000 (61,6) menggunakan bahasa Cina (yaitu kaum totok). Sedangkan sensus tahun 1930 tidak memberikan keterangan mengenai bahasa sehari-hari yang digunakan oleh Cina lokal, terdapat informasi mengenai tempat kelahiran orang tua mereka di Hindia Belanda atau luar negeri.[27] Imigran Cina tetap berdatangan ke Indonesia yang masih terjajah, sehingga masyarakat Cina Totok di Jawa dan luar Jawa makin besar jumlahnya.


           
C. Strategi Pembauran Kebudayaan
            Interaksi sosial yang terjadi melibatkan proses-proses sosial yang beraneka ragam, proses saling mempengaruhi secara dinamis dalam kontak antara pribadi dan kelompok menghasilkan perubahan sikap-sikap dan tingkah laku. Interaksi yang berulang-ulang menjadi pola yang sering dan disebut proses sosial. Proses sosial tersebut menimbulkan pembauran[28] yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara intensif, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.[29]
            Proses pembauran juga terdapat faktor-faktor yang dapat menjadi penghalang, antara lain: kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan baru yang dihadapi, prasangka negatif terhadap pengaruh kebudayaan baru bahwa kebudayaan kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan kelompok lain, kebanggaan berlebihan ini mengakibatkan kelompok yang satu tidak mau mengakui keberadaan kebudayaan kelompok lainnya, perbedaan ciri-ciri fisik, seperti tinggi badan, warna kulit atau rambut, dan golongan minoritas yang mengalami gangguan dari kelompok penguasa.[30]
            Golongan yang tersangkut dalam proses asimilasi adalah suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Golongan minoritas mengubah dan menyesuaikan sifat khas kebudayaannya dengan kebudayaan dari mayoritas sehingga lambat-laun kehilangan kepribadian kebudayaannya dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas[31]. Proses asimilasi atau pembauran bisa terjadi jika ada sikap toleransi dan simpati antar kelompok budaya tersebut.
            Moertopo[32]  memperinci pendekatan strategis ke dalam lima ciri, yaitu (1) memusatkan perhatian kepada kekuatan, yang merupakan pokok di dalam pendekatan strategis, (2) memusatkan perhatian kepada analisis dinamik, analisa gerak, analisa aksi, (3) strategi memusatkan perhatian kepada tujuan yang ingin dicapai serta gerak untuk mencapai tujuan tersebut, (4) strategi memperhitungkan faktor-faktor waktu dan faktor lingkungan, dan (5) strategi berusaha menemukan masalah-masalah yang terjadi dari peristiwa-peristiwa yang ditafsirkan berdasarkan konteks kekuatan, kemudian menganalisis kemungkinan serta memperhitungkan pilihan dan langkah yang dapat diambil.
            Pembauran dilaksanakan di segala bidang kehdupan secara serentak (syncroon) dilakukan dengan menitikberatkan pada pembauran yang bersifat sosial. [33] Proses pembauran banyak diteliti oleh para sarjana antropologi, dimana timbul berbagai masalah yang berhubungan dengan individu dan kelompok imigran yang berasal dari berbagai bangsa dan negara yang memiliki kebudayaan berbeda. Kemajuan kebudayaa masyarakat dapat dicapai oleh suatu masyarakat. Kemajuan tersebut dicirikan dengan adanya kepemimpinan yang mantap, stabilits sosial pada masyarakat yang bersangkutan, dan saluran-saluran yang memungkinkan terjadinya perubahan. Saluran-saluran kebudayaan tersebut adalah lembaga pendidikan, politik, sosial, budaya, ekonomi, dan keagamaan.[34]

D. Saluran-Saluran Pembauran
1.  Saluran Pendidikan
            Proses pembauran yang dilakukan melalui pendidikan dilakukan dengan pendirian sekolah-sekolah. Proses tersebut diawali dengan pendidikan dasar yang berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena krisis dunia, tidak terkecuali melanda Hindia Belanda yang disebut mangalami malaise.[35] Kurun waktu 1729 pernah didirikan sekolah untuk anak-anak Cina, siswanya hanya 30 orang, tetapi tidak lama bubar karena kesalahan pengurusan. Pada 1899 muncul sekolah Cina tradisional, terdapat 217 sekolah di Jawa dan Madura dengan 4.452 murid, dan 152 sekolah di luar Jawa dengan 2.170 siswa. Namun tidak jelas mengapa mendadak muncul sekolah itu dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang banyak. Sekolah tradisional itu menggunakan bahasa pengantar bahasa Hokkian dan kurikulumnya didasarkan Kitab-kitab Khonghucu.
2. Saluran Politik
THHK yang menumbuhkan semangat nasionalisme Tiongkok di kalangan peranakan Cina, ternyata juga berpengaruh kepada kalangan bumiputera atau pribumi. Suksesnya THHK sebagai organisasi modern pertama di Hindia Belanda telah mendorong lahirnya Boedi Oetomo, Sarekat Dagang Islam (kemudian menjadi Sarekat Islam), Moehammadiyah dan organisasi-organisasi lainnya. Melihat keadaan yang semakin tidak menguntungkan, kembali pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan politik segregasi, bukan saja untuk memisahkan orang-orang peranakan Cina dengan orang-orang bumiputera, tetapi juga dengan golongan Totok.
            Kelompok Peranakan terbagi menjadi dua kelompok politik, kelompok pertama adalah Chung Hwa Hui (CHH)[36] ini, mereka mendukung penjajah Belanda[37]. Kelompok kedua adalah Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang mendukung Gerakan Kemerdekaan Indonesia[38]. Beberapa tokoh dari partai ini berjuang bersama dengan tokoh tokoh lain bukan keturunan Cina untuk kemerdekaan Hindia Belanda (menjadi Indonesia). Namun Kenyataan ini sering dilupakan oleh masyarakat Indonesia dan penulis sejarah[39].
            Adanya penjajahan oleh Belanda dan Jepang, serta hubungan batin yang masih ada dengan Tiongkok, tetapi Indonesia juga, mereka tidak memiliki kepastian harus mendukung pihak yang mana. Seperti yang diucapkan Liem Koen Hian[40], walaupun Peranakan Cina memiliki kebudayaan yang cenderung lebih mencerminkan Indonesia, kedudukan keturunan Cina akan terombang ambing selama situasi Indonesia dan luar negeri yang berubah[41] yang menyebabkan timbulnya ketidaktentuan pilihan masyarakat Tionghoa di bidang politik.
3. Saluran Sosial
            Interaksi yang kondusif diatur baik oleh penjajah Belanda karena merasa khawatir dengan bangkitnya nasionalisme Tiongkok maupun Indonesia. Meka dipertegas strategi politik adu domba. Tujuannya tidak lain mencegah agar kekuatan etnis Cina dan Indonesia tidak bersatu sehingga dapat membahayakan kedudukan Belanda.             Kelompok minoritas atau budaya dalam proses asimilasi, mungkin telah kehilangan anggotanya yang lebih besar dan lebih dominan kelompok budaya. Salah satu bentuk yang lebih ekstrem antarkelompok melibatkan asimilasi perkawinan (misalnya, perkawinan antaretnis).
Orang-orang Cina yang datang ke Indonesia banyak yang mengawini wanita-wanita Indonesia, atas dasar pertimbangan-pertimbangan praktis. Para pedagang Cina mengawini wanita Indonesia dengan maksud membebani istrinya sebagai penjaga dan pengurus usaha dagangnya, selama mereka sedang kembali ke negara asalnya di Tiongkok. Hasil dari perkainan ini, anak laki-laki biasanya dibawa ke negeri leluhur guna mendapat pendidikan asli di sana.[42] Di lain pihak, anak-anak perempuan para perantau tidak dibenarkan untuk menikah dengan pemuda-pemuda Indonesia.[43]
Perkawinan campuran dilakukan antara pimpinan atau kaum elit dari para pedagang dan kaum elit dari penduduk pribumi memudahkan proses pembauran dalam bidang politik. Begitu pula proses penyebaran agama yang dibawa oleh para pedagang, yang penduduk pribumi menganggap bahwa para pedagang merupakan kaum atau kelompok yang memiliki jaringan yang luas dalam hal perdagangan dan politik.[44] Dengan demikian, bergabung dengan mereka dapat membantu memajukan jalannya pemerintahan dari suatu kerajaan di Nusantara, baik dalam polotik maupun ekonomi.
4. Saluran Budaya
Abad ke-18 dan awal abad ke-19, sementara makin banyak orang Cina bermigrasi ke Jawa[45] dan kebudayan peranakan Cina semakin mapan, maka timbullah dalam masyarakat tersebut kesukaan dan pengahargaan terhadap kebudayaan setempat.[46] Pembauran kebudayaan ini antara lain melalui media kesenian. Salah satu kesenian yang populer dikalangan etnis Cina di Indoensia adalah Liong dan Barongsai, sehingga tidak sulit untuk menemukan perkumpulan kesenian Liong dan Barongsai, khususnya di Surakarta.
Liong dan barongsai paling mudah ditemukan pada saat perayaan imlek atau tahun baru Cina pada Pebruari. Selain itu, jenis tarian seperti tari bondres merupakan wujud akulturasi antara etnis Cina dan Jawa yang memiliki teknnik yang indah dan syarat makna. Beberapa klenteng sampai hari ini masih digunakan oleh para pengikutnya dan digunakan untuk kunjungan wisata dan penelitian. Diantara klenteng tua yang terkenal terletak di kota Semarang dan Surabaya. Mengenai lampion, aneka masakan, dan obat-obatan pun masih berkembang hingga saat ini. Cara-cara pengobatan tradisional masih diertahankan. Bahkan keberadaan tabib atau shinse sudah banyak yang mengakui adanya kesembuhan dalam pengobatan.
5. Saluran Agama
            Identitas etnis Cina dalam budaya terutama diikat oleh sistem kepercayaan mereka yang rata-rata masih Konfusinis, Taois, dan Budhis.[47] Sistem kepercayaan ini biasa disebut dengan Tri Dharma yang merupakan ajaran berdasar kebajikan. Kebajikan merupakan pola ideal tertinggi bagi umat manusia. Kebajikan adalah dasar pola kehidupan satu-satunya yang baik dalam mengorganisir masyarakat.[48] Kedudukan sosial mereka di Indonesia sengaja diatur oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai “perantara” dengan pendudu pribumi, terutama dalam sektor perdagangn. Mereka rata-rata memiliki kepribadian yang ulet, rajin, cerdas, dan menjunjung tinggi pendidikan.
            Golongan etnis Cina tidak dapat dan tidak mau dimasuki oleh orang lain, baik kultural maupun sosial, apalagi ekonomi. Hal ini disebabkan karena agama, bahasa juga adatnya terutama karena politik penjajahan Belanda. Mereka memunyai wilayah tertentu, Kepala yang diakui oleh Pemerintah Hindia (Kapitein der Chinezen dan Wijkmeester), memunyai tanah perkebunan sendiri, perkumpulan kematian, dan perkumpulan perguruan sendiri.[49]Islam, contohnya merupakan salah satu agama di pulau Jawa dengan konsep assimilasi total untuk menjembatani etnis Cina dan masyarakat Indonesia. Selain Tri Dharma, etnis Cina banya yang menganut agama Khatolik dan Kristen yang diprakarsai oleh golongan berpendidikan Belanda. Saluran agama hanya sedikit disinggung dalam masalah pembauran karena di dalam kepercayaan Kong Hu Chu tidak terdapat upaya untuk meng-Khing Hu Cu-kan etnis lain. '
6. Saluran Ekonomi
            Akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 para etnis Cina menjadi pedagang perantara ekonomi. Komoditi barang dagangnya berupa garam, opium, gula, tembakau, dan kopi dengan sistem penerimaan pajak. Pajak yang dibebankan tidak hanya pajak dagang, tetapi juga pajak jaan tol, rumah jagal, dan pasar, termasuk monopoli opium. Hal ini dikarenakan waktu itu belum ada perangkat pajak yang memadai.[50] Sebanyak 35,4% pedagang adalah etnis Cina, sedangkan orang-orang Eropa dan masyarakat Indonesia hanya 13,4% dan 5,4%. Kondisi ini mengesankan bahwa selah-olah Cina hanya berprofesi sebagai pedagang. Aktivitas paling penting dalam perdagangan etnis Cina masa kolonial adalah opium dan pegadaian. Kontrak opium yang berakhir sejak 1898 digantikan oleh sistem monopoli pemerintah pada 1903.
            Etnis Cina yang berperan sebagai perantara dalam bidang ekonomi, dipusatkan pada orang Cina yang kaya atau berpangkat, seperti mayor, Letnan, dan Kapten yang mendapat gaji tetap. Alasannya agar cadangan dana dapat tersedia sewaktu-waktu. Tidak hanya dalam sekup perdagangan, etns Cina juga menangani masalah perindustrin khususnya besi dan baja yang dieksport. Hasil dari industri tersebut berupa jarum, lonceng, dan perkakas klontong[51] Melayu.
            Gaji yang diberikan juga diperhatikan. Gaji kuli rata-rata berkisar antara f 0,70- f 2,07. Sedangkan nominal pajak rumah tangga (personeele belesting) orang-orang Eropa mencapai f 37.934,03 dengan wajib pajak yang terus berubah. Besar pemasuan pajak pun bervariasi, dari f 50 – f 1.000.[52] Justru yang paling menguntungkan di antara semua sendi perekonomian adalah pendapatan dari pajak gerbang tol. Pajak ini memberikan keuntungan besar bagi keajaan dan memperkaya orang Cina.

F.     Karya Sastra Cina
            Kesusastraan periode kolonial (1925-1935) mengandung jejak-jejak yang jelas dari perkembangan yang digambarkan secara garis besar di dalamnya. perkembangan besar tersebut nampak dalam karya-karya asli yang menggambarkan masyarakat Cina maupun Indonesia, serta munculnya pengarang-pengarang amatir yang mencoba menulis novel dan cerpen. Di lain pihak, gerakan menerjemahkan yang banyak diakukan oleh pengarang pada kesusastraan periode sebelumnya tidak lagi berkembang.[53]
            Karya sastra apabila dikaji lebih mendalam sesungguh­nya banyak mengandung nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan pendidikan. Berbagai macam karya sastra misalnya adalah novel, cerpen, syair, dan prosa. Novel merupakan salah satu karya sastra yang dapat diteliti secara ilmiah yang di dalamnya melukiskan berbagai peristiwa yang dialami oleh pelaku-pelakunya. Pelaku yang ada dalam sebuah novel merupakan suatu proses kreatif dari pengarangnya. Jadi, hasil karya seorang pengarang pada dasarnya bersumber dari hasil imajinatif dan proses krea­tifnya.[54]
            Proses pembauran melalui karya sastra juga selaras dengan upaya senada yang dilakukan melalui pers. Media pers yang saat itu berkembang cukup pesat yaitu pers Melayu Cina (pers Melayu Tionghoa). Media ini diawali dengan penerbitan beberapa surat kabar dan majalah, seperti Sin Po, Sin Tit Po, dan Liberty. Berkembangnya media ini juga membantu dalam upaya pembauran etnis Cina yang ke dalam masyarakat Indonesia yang diwujudkan melalui karya sastra.[55]
1.      Pengarang-pengarang
  Keadaan zaman pada abad ke-19 tidaklah subur untuk lahirnya seorang pengarang atau pencipta sastra Melayu Cina. Memang yang menjadikan pengarang terutama bakatnya, tetapi selain bakat masih banyak faktor yang menetapkan seseorang menjadi pengarang atau tidak. Faktor-faktor tersebut antara lain: adanya sekolah. Tanpa adanya sekolah, kehidupan intelektual, dan bacaan. Walaupun periode ini lebih dekat ke masa kini, namun nampaknya tidaklah mudah untuk menelusuri karier pengarang. Para pengarang tersebut menghasilkan banyak karya sastra.[56] Mereka di antaranya adalah Kwee Tek Hoay,[57] Njoo Cheong Seng,[58] Gouw Pong Liang,[59] Lim Khing Hoo,[60] Soe Lie Pit,[61] dan Kwee Tek Beng.[62]
Pengarang sebelum periode kolonial pada umumnya adalah pengarang laki-laki. Pada kurun waktu kolonial inilah mulai ditemukan pengarang wanita, tetapi jumlahnya lebih sedikit sehingga tidak perlu dibahas secara detail mengingat karya sastra yang dihasilkan juga masih sedikit. Mereka diantara adalah Miss Agatha, Elly Ang, dan Kwee Ay Nio.[63] Sejumlah pengarang peranakan Cina menulis menggunakan nama samaran. Selain itu ada juga karya sastra yang ticak dicantumkan nama pengarangnya (anonim). Hal ini disebabkan pada masa itu masih terbatasnya jumlah penerbit dan percetakan yang memberi kesempatan para pengarang menerbitkan karyanya[64].
Faktor yang turut menentukan kelahiran kesuasatraan Melayu Cina adalah jumlah penulis yang sebagian besar berprofei sebagai jurnalis, yang tercatat sebnyak 44 orang[65]. Kesusastraan ini tumbuh atas dukungan jurnalisme mereka yang sudah dimulai sejak 1850-an. Tidak mengherankan jika karya asli pada mulanya dipengaruhi gaya jurnalisme, yaitu dengan munculnya karya-karya fiksi tindak kejahatan yang benar-benar terjadi berdasarkan proses keadilan dan pemberitan surat kabar[66].

2.    Tema dalam Karya Sastra
            Tema yang diceritakan dalam Sastra Melayu Cina sebagian besar adalah masalah kehidupan orang Cina Indonesia, menyangkut kehidupan keluarga atau perjuangan mereka untuk mencari penghidupan di Hindia Belanda. Terdapat tiga jenis tema yang diangkat para sastrawan peranakan Cina dalam berkarya. Pertama, tema yang berorientasi pada tanah leluhurnya, seperti terjemahan karya sastra asli dari Tiongkok (Sam Kok). Kedua adalah tema yang melingkupi seputar daerah tempat tinggalnya, maka karyanya menggambarkan semangat pembauran yang terjadi di kota-kota di Hindia Belanda, seperti karya novel Boenga Roos dari Tjikembang (1927) oleh Kwee Tek Hoay yang piawai menggambarkan hubungan cinta mendalam seorang pria Cina dengan perempuan Sunda yang tidak lazim di masa itu.[67]
Tema ketiga adalah semangat perjuangan yang ditularkan oleh sastrawan melalui tulisannya yang mengkritisi arogansi pemerintah kolonial yang hanya berani dikumandangkan penerbit swasta. Orientasi penulisan novel sejarah berdasarkan dongeng-dongeng dan sejarah Jawa juga berkembang. Para pengarangnya umumnya tahu banyak tentang budaya Jawa, bahkan terkadang menyadur bahasa Melayu, sehingga tidak selalu mudah membedakan keduanya tanpa menelaah secara kritis naskah-naskah asli dan sadurannya.[68]
3.    Penerbitan dan Percetakan
Penerbitan karya sastra masa masa kolonial dilakukan dengan menerbitkan buku dengan dipecah-pecah dalam jilid yang bersambung-sambung. Firma Albrecht[69] misalnya menerbitkan karya terjemahan menjadi 40 jilid. Hal ini juga yang melatarbelakangi alasan dibuatnya cerita pendek (cerpen) yang dimuat surat kabar dimuat secara bersambung, baru kemudian diukukan[70]. Alasan yang mendasari cara penerbitan demikian adalah kesukaran teknis dan penetapan harga[71]. Penerbit tidak menetapkan harga berdasarkan cerita, tetapi menetapkan harga persatuan untuk jilid bersambung. Harga yang ditetapkan berkisar antara f 0,75, f 0,80 dan f 1, walaupun ada juga yang mematok harga f 0,50, f 1,25, bahkan lebih dari f 2,50.[72]
            Penerbit peranakan Cina sejak 1833 telah ada jauh sebelum Balai Pustaka ada. Tercatat Kho Bie & Co., Tjoei Toei Yang, Firma Sie Dhian Ho. Penerbit dan percetakan inilah yang banyak menerbitkan buku terjemahan--termasuk buku sastra dan cerita silat--karya pengarang peranakan Cina[73]. Dengan demikian, pengarang peranakan Cina turut mengembangkan khazanah sejarah kesusateraan Hindia Belanda. Bahkan bisa juga disebut sebagai pembuka jalan menuju sastra Hindia Belanda Modern. Akibat dari tindakan kolonialis Belanda ini, sastra peranakan Cina tercecer dan tak tercatat dalam sejarah kesusasteraan Hindia Belanda.

G. Pembauran ke dalam Masyrakat Indonesia melalui Karya Sastra
            Karya sastra dipilih sebagai salah satu media pembauran atau asimilasi di antara media pembauran lainnya karena melalui karya sastra kaum etnis Cina dapat mengapreisaikan segala sesuatu di dalamnya. Karya sastra tersebut terdiri dari berbagai jenis, antara lain berbentuk novel, roman, pantun, dan cerpen.[74] Persoalan sosial dalam menghadapi keluarga, nampaknya yang paling menonjol. Segalanya memberikan kesan bahwa pembaratan diterima apabila membawa perbaikan teknis atau perbaikan dalam sendi ekonomi namun menimbulkan pergolakan budaya.[75]            Subordinasi pribumi dan supremasi Belanda serta Cina tidak tampak karena Kwee Tek Hoay membatasi tokoh-tokoh yang diciptakannya pada tokoh-tokoh Cina dan tidak memberikan gambaran yang cukup mengenai relasi antarkomunitas di dalam masyarakat.[76]
            Sebagai fakta sosial, karya sastra tidak hanya mencerminkan berbagai realitas sosial, baik pandangan dunia, kepercayaan, sistem nilai, norma-norma, maupun adat istiadat, yang mencakup penciptaan karya sastra tersebut, melainkan juga mencerminkan tanggapan pengarang terhadap berbagai realitas sosial tersebut.[77] Sejarah sastra Hindia Belanda menunjukkan bahwa kesusastraan Hindia Belanda kontemporer, bukan sesuatu yang muncul dengan begitu saja, melainkan merupakan perkembangan lebih jauh dari kesusastraan yang semula tumbuh dengan menggunakan bahasa Jawa, Sunda, dan Melayu, baik Melayu Tinggi maupun Melayu Rendah.
            Novel Bunga Roos dari Cikembang (1927), di dalamnya Kwee dengan piawai menggambarkan hubungan cinta mendalam seorang pria Cina dengan perempuan Sunda yang tidak lazim di masa itu. Novel ini dengan jelas menggambarkan ketulusan cinta dan interaksi antargolongan masyarakat yang melanggar kelaziman masa Kolonial. Hubungan asmara antarbangsa yang lazim pada masa itu adalah relasi tidak seimbang antara pria berkedudukan sosial lebih tinggi dengan perempuan Bumiputra yang memiliki kedudukan lebih rendah.

PENUTUP
            Pembauran terjadi di berbagai bidang kehidupan, salah satunya adalah pembauran kebudayaan yang salah satu alatnya adalah karya sastra. Melalui karya sastra, etnis peranakan Cina dapat mendekatkan diri mereka dengan masyarakat Indonesia. Selain itu, upaya ini juga dimksudkan guna pencarian identitas diri sebagai bagian dari Indonesia agar legitimasi terhadap kaum yang dianggap minoritas ini dapat berasimilasi seutuhnya.
Pembauran bukan sebatas kawin campur Cina dengan masyarakat Indonesia kemudian lantas melupakan asal-usul golongan. Dalam proses pembauran, karya sastra memberikan kesempatan dan ruang bagi para anggotanya yang berbeda etnis untuk saling mengenal dan memahami satu terhadap yang lain. Dengan begitu, secara sosial dan spiritual mereka mampu untuk memahami makna sesungguhnya dari hidup bersama dengan orang yang memiliki perbedaan kultur, diantaranya adalah etnisitas. Karya sastra menjadi sarana asimilasi antara etnis peranakan Cina dan masyarakat Indonesia karena ia memberikan kesempatan bagi para anggotanya yang berbeda etnis untuk saling mengenal dan memahami satu dengan yang lain, sehingga dapat tercipta rasa toleransi dan simpati. Karya sastra dan sejarah juga memunyai hubungan kausalitas, karya sastra menjadi saksi dan diilhami oleh zamannya dalam hal ini upaya pembauran yang dilakukan etnis Cina ke dalam masyarakat Indonesia. Sebaliknya karya sastra juga dapat memenegaruhi peristiwa-peristiwa zamannya dengan membentuk suatu public opinion.
Buku-buku pelajaran sekolah hampir jarang disinggung peranan etnis Cina dalam mengisi khasanah kesastraan Indonesia, padahal sumbangan etnis Cina di bidang sastra sangat besar, yaitu pada paruh kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dengan demikian terbukti bahwa pengarang Cina sebenarnya telah menjadi pelopor dan memainkan peranan penting dalam mengisi khasanah sejarah kesastraan Indonesia sebelum lahirnya para pengarang dan pujangga Indonesia. Para pengarang Cina, khususnya pengarang peranakan, telah memenuhi koran, majalah, dan terbitan-terbitan sastra yang menggunakan bahasa Melayu Rendah.
Karya sastra Melayu Cina ini membuktikan betapa pentingnya karya-karya tersebut dalam rangka mendukung upaya pembauran etnis Cina ke dalam masyarakat Indonesia. Pertama, karya sastra tersebut menunjukan dengan jelas bahwa sejak lama pembauran terjadi, yaitu dalam bahasa yang digunakan (bahasa Melayu), dalam hal bentuk (syair merupakan sastra pribumi nusantara), dan dalam hale ma, sebagian besar berkenaan dengan kehidupan di Indonesia. Kedua, pembauran yang memperhatikan kebudayaan tercermin dalam hasil kesusastraan dn sebaliknya kesusastraan merupakan bagian dari kebudayaan. Ketiga, sudah saatnya berhenti menyamaratakan etnis Cina. Dengan membaca karya sastra  dari berbagai periode dapat membuka mata kita bahwa kebhinekaan dalam masyarakat Cina cukup besar, sehingga pendekatan pembauran juga sepatutnya  disesuaikan dengan kebhinekaan.



                [1] Siau Giok Tjhan, Lima Jaman. (Jakarta–Amsterdam: Yayasan Teratai, 1981), hlm. 13.
[2] Nio joe Lan, Sastera Indonesia-Tionghoa, (Jakarta: Gunung Agung, 1962), hlm. 7.
[3] Ibid., hlm. 7-8.
[4]Komunitas Lintas Budaya Indonesia, Peranakan Tionghoa-Indonesia; Sebuah Perjalanan Budaya, (Jakarta: Intisari Mediatama, 2009), hlm. 98.
[5] Leo Suryadinata, Etnis’s Search For National Identity. Biographical Studies of Seven Indonesian Chinese, (Singapore: Term Academi Press, 1993), hlm. 17.
[6] Suatu masa ketika nasionalisme Cina di Jawa tinggi, berbagai sekolah, organisasi, dan surat kabar ditandai dengan penggunaan bahasa antara peneliti etnis dan Indonesia. Hal ini kemudian bahwa bahasa Melayu yang digunakan oleh umumnya menjadi peneliti etnis dikenal sebagai Melayu-Cina, Sino-Melayu, dan itu dianggap semacam 'sub-bahasa' dari Melayu dengan tatabahasa dan perbedaan dari Indonesia Melayu.
                [7] Meskipun sama-sama dimuat dalam surat kabar atau majalah, tetapi cerpen pada periode sebelum Perang Dunia II lebih banyak berbentuk novel yang dibuat bersambung atau disebut cerita pendek bersambung (cerbung) untuk masa sekarang (Lihat Sin Po Wekwlijksche Editie).
                [8] Sin Po Wekwlijksche Editie, 26 Desember 1925, hlm. 619.
[9] Claudion Salmon, Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 68.
[10] Pax Nederlandica merupakan masa keemasan penjajahan Belanda.
[11] Argumentasi di atas terbantah ketika Literature in Malay by the Chinese of Indonesia, a Provisial Annotated Bibliography terbit. Katalog karya sastra etnis yang ditulis oleh Claudine Salmon ini memuat 806 peneliti dengan 3005 karya yang terdiri dari drama asli, syair asli, terjemahan karya peneliti Barat, terjemahan cerita-cerita Tiongkok, novel dan cerita pendek asli. Sebanyak 2757 karya bisa diidentifikasi pengarangnya, sementara 248 lainnya anonim.
[12] Cerpen karya Idroes berjudul ”Anak Boeta” dimuat dalam majalah Liberty 15 april 1926, edisi XV No. 171, hlm. 42-45.
                [13] Sebelumnya terdapat penelitian serumpun yang dilakukan oleh Claudion Salmon, Nio Joe Lan, dan Leo Suryadinata dalam beberapa karyanya, akan tetapi fokus penelitian lebih bersifat umum terhadap karya sastra, bukan menyoroti mengenai masalah strategi pembauran.
                [14] G. William Skinner, Golongan Minoritas Tionghoa dalam Melly G. Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia; Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Gramedia, 1979), hlm 7.
[15] Wijkenstelsel  merupakan aturan pemerintah kolonial melarang etnis Cina bermukim di tempat-tempat tertentu untuk memisahkan orang-orang Cina dari penduduk setempat.
                [16] Hidajat, Z. M., Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia,(Bandung: Penerbit Tarsito, 1977), hlm. 50-52.
                [17] Salah satu kawasan yang telah berubah menjadi Pecinan dapat dijumpai di Jawa Timur, khususnya Surabaya misalnya di kawasan Kembang Jepun.
                [18] Sekitar akhir abad ke-19 diambilah jalan tengah penggunaan istilah Tiongkok yang diambil dari terjemahan Chung Kuo. Lihat Siau Giok Tjhan, Lima Jaman. (Jakarta–Amsterdam: Yayasan Teratai, 1981), hlm. 14.
                [19] Leo Suryadinata, Pribumi Indonesians, The Chinese Minority and China.  (Kuala Lumpur, Malaysia: Heinemann Educational Books, 1978), hlm. 42.
                [20] Sekarang Tentara nasional Indonesia (TNI).
                [21] Ibid., hlm. 42-43.
                [22] Moch Sa’dun M (penyunting), Pri–Non Pri; Mencari Format Baru Pembauran, (Jakarta: PT Pustaka Cindesindo, 1999), hlm. 230.
[23] Lea E. Williams, Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of the Pan-Chinese Movement in Indonesia, 1900-1916, (Singapore: Glencoe, 1960), hlm. 61.
                [24] Ibid., hlm. 372.
                [25] Leo Suryadinata,  Op. Cit., hlm. 70.
                [26] Nio Joe lan, Op. Cit., hlm, 9.
                [27]Volkstelling 1930,  Jilid VII (Batavia: Departement van Economische Zaken, 1935), hlm. 32-35.
                [28]Pembauran juga dipadankan dengan istilah asimilasi; lihat Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2005), hlm. xxxvi.
[29] Koentjaraningrat,  Sejarah Teori Antropologi II, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990),  hlm. 255.
                [30] Abdul Baqir Zein, Etnis Cina Dalam Potret Pembauran di Indonesia, (Jakarta: PT.Prestasi, 2000), hlm. 113.
                [31] Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm. 225-226.
                [32] Ali Murtopo,. Strategi Kebudayaan,( Jakarta: Yayasan Proklamasi, 1978), hlm. 25. Lihat juga Van Peursen,. Strategi Kebudayaan. Teri,  Dick Hartoko, (Yogyakarta: Kanisius. 1988), hlm. 14.
[33]Ariedjito. 2008. Tantangan Pembauran Etnik. The Home of Revolution, (Online), (http://ariedjito.staff.ugm.ac.id/joomla, diakses 20 Oktober 2009).
[34] Koentjaraningrat, Pengantar, hm. 61.
[35] Zaman malaise merupakan masa krisis dunia yang ditandai dengan harga beberapa bahan pokok menurun dan pasar untuk eksport gula menciut. Lihat M.C. Ricklet, Sejarah Indonesia-Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 384.
[36] H. Frambergs, P., Chung hua Hui: Chinesse Vereneging in Nederland. (Leiden: Leidshe Vitgeversmaatschappij, 1926), hlm. 8.
                [37] Leo Suryadinata, Op. Cit., hlm. 54.
                [38] Ibid., hlm. 56.
                [39] Ibid., hlm. 21-23.
                [40] Liem Koen Hian merupakan ketua PTI (Partai Tionghoa Indonesia).
                [41] Ibid,, hlm. 59.
                [42] W.D. Soekisman, Op. Cit., hlm. 5.
                [43] Ibid.
[44] Koentjaraningrat. Sejarah Teori, Op. Cit., hlm. 62.
                [45] Proses migrasi ke pulau Jawa mengikuti menyebarnya kekuasaan VOC di pulau ini.
                [46] Dede Oetomo, Penggunaan dan Fungsi bahasa Jawa pada Golongan Etnis Tionghoa, (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984), hlm. 3.
                [47]Skinner, G. William. & Fried, Morton. (Ed),  The Chinesse of Java: Colloqium on Overseas Chinesse, (New York: Institute of Pacific Relations. 1985), hlm. 97.
                [48] Hidajat, Z. M., Op. Cit., hlm. 56.
                [49] Moch Sa’dun M (penyunting), Op. Cit., hlm. 59.
                [50] Ong Hok Ham. “Merosotnya Peranan Pribumi dalam perdagangan Komoditi”, Prisma no.8 Agustus 1983, hlm.17.
                [51] Klontong merupakan suatu alat berfungsi untuk menarik perhatan pembeli yang digunakan oleh pedagang keliling.
[52] Ong Hok Ham. Loc Cit.
                [53]Claudion Salmon, Perkembangan Sejarah Kesastraan Cina Peranakan, (Tidak diterbitkan. Tanpa Tahun), hlm. 99.
                [54] Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm 132.
                [55] Ong Hok Ham, Riwayat, Loc. Cit.
                [56]Benny G. Setiono, Op. Cit., hlm. 392-413; lihat juga Komuntas Lintas Budaya Indonesia, hlm. 105-111.
                [57]Kwee Tek Hoay lahir d Bogor pada 31 Juli 1886. Ia bersekolah di sekolah privat berbahsa Hokkian di Bogor. Secara khusus ia belajar bahasa Melayu kepada kenalan ibunya yng bekerja di perkumpulan Kristen. Bahasa Belanda ia tekuni melalui dua gurunya di Bogor. Kepandaiannya menulis dan kegemarannya membaca mengantarkannya menjadi penulis yang hebat. Karya terbesarnya adalah Boenga Roos dari Tjikembang (1927) dan Drama dari Boven Digoel yang diterbitkan pada 1929. Kwee menikah dengan Oei Hang Nio. Ia meninggal di Cicurug, 4 Juli 1952 karena diabetes mellitus. Lihat Riwayat Hidup Kwee Tek Hoay oleh Visakha Gnadharma dalam buku 100 tahun Kwee Tek Hoay, dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena, penerbit Pustaka Harapan, 1989, penyunting Myra Shidarta, hlm. 257.
                [58] Njoo Cheong Seng lahir pada 1902 dan meninggal pada 1962 di Malang. Njoo pernah ikut dalam rombongan sandiwara Dardanella.
                [59] Gouw Peng Liang berasal dari keluarga borjuis di Jatinegara yang lahir pada 1869 dan meningga di tempat yang sama pada 1928. Ia memeroleh pendidikan dasarnya di sekolah privat Belanda.
                [60] Liem King Hoo lahir pada 25 Juli 1905 di Wlingi, Jawa Timur dan meninggal pada 4 April 1945 di sebuah rumah sakit setelah ditahan dan disiksa dengan tuduhan melalkukan pemberontakan. Ia mendapat pendidikan di T.H.H.K untuk belajar bahasa Cina, Inggris, India, dan sastra Jawa. Karya terbesarnya adalah Berjoang.
                [61] Soe Lie Pit lahir di Batavia pada 1904. Ia memeroleh pendidikannya di T.H.H.K dan membantu di took roti ayahnya. Sejak kecil ia gemar membuat syair yang kadang-kadang muncul di pers. Ia kemudian merantau ke Sumatra dan bekerja di Tjin Po Medan, kemudian pulang ke Jawa dan menjadi pimpinan Penghidoepan. Pada 1930 ia mendirikan majalah bulanan Liberty. Novelnya ebanyakan dimuat di surat kabar dan majalah. Ia juga menerjemahkan novel barat. Ia ayah dari Soe Hok Djin (Arief Budiman) dan Soe Hok Gie.
                [62]Kwee Kek Beng lahir pada 1903 di Batavia dan meninggal dunia pada 1975. Ia memeroleh pendidikan di HCS dan Hollandsch Kweekschool. Kemudian ia mengajar di Bogor dan menulis harian Shin Bin yang didirikan Tjoe Bouw San dan diangkat menjadi redaksi harian Sin Po.
                [63] Claudine Salmon.Perkembangan, Op. Cit., hlm.100.
                [64] Nio Joe Lan, Sastera, hlm 31.
                [65] Ibid., hlm. 64-65.
                [66] Nio Joe Lan, Op. Cit, hlm. 112.
                [67] Benny G. Setiono, Op. Cit., hlm. 393.
                [68] Ibid., hlm. 115.
                [69] Nio Joe Lan, Sastera , hlm. 21.
                [70] Ibid., hlm. 22.
                [71] Ibid.
                [72] Mata uang f (baca gulden) merupakan jenis mata uang yang digunakan pada masa colonial Belanda sebagai satuan mata uang yang diakui secara resmi.
                [73] Ibid.
                [74] Ibid.
                [75] Claudion Salmon, Op. Cit. hlm. 117.
                [76] Lihat Dwi Susanto, 2007, Redefinisi Nyai dalam Bunga Roos dari Cikembang Karya Kwee Tek Hoay. Haluan Sastra dan Budaya, (Online), (http://infotrac.galegroup.com/itweb/unesa?db=AOB;   diakses 5 Pebruari 2010).
                [77] Kuntowijoyo, Budaya dan Masyaraka,.( Yogyakarta: Tiara Wacana.1999), hlm. 134.

1 komentar: