Bab I
Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Menurut catatan sejarah, penerbitan media cetak di Indonesia sudah dimulai sejak penguasaan VOC (1619-1799),[1] tepatnya tahun 1676. Awalnya hanya kalangan penguasa dari Eropa - terutama Belanda dan Inggris -- yang diizinkan menerbitkan media cetak. Namun, kaum Tionghoa dan kalangan bumiputra (pribumi) akhirnya juga diizinkan mengelola media cetak sendiri.
Media cetak yang berbentuk surat kabar baru muncul tahun 1800-an. Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810. Ketika armada Inggris menaklukkan Jawa, Thomas Stamford Raffles - yang diangkat sebagai Gubenur Jenderal - juga sempat menerbitkan koran mingguan bernama Java Government Gazette pada tahun 1812. Pada tahun 1825 muncul De Locomotief di Semarang.
Pers lokal baru bangkit awal 1900-an setelah kolonial Belanda mengizinkan kaum Tionghoa mengelola media cetak. Ketika Tionghoa mulai menerbitkan surat kabar, orang-orang bumiputra juga mulai belajar mengelola koran. Tahun 1900 Dr Wahidin Soedirohoesodo menangani surat kabar Retno Dhoemilah dalam dua bahasa; Jawa dan Melayu. Melalui media ini Wahidin mulai mengkampanyekan nasionalisme, pendidikan masyarakat, persamaam derajat dan budi pekerti. Hanya saja, surat kabar Retno Dhoemilah ini juga didirikan oleh orang Belanda, FL winter, dengan perusahaan penerbit milik kolonial H Bunning Co.
Munculnya pers Tionghoa di Jawa pada awal abad ke-20 bisa dibedakan dalam dua kelompok; yakni pers berbahasa asli Tiongkok dan pers berbahasa Melayu. Pers berbahasa Tiongkok dikelola oleh kalangan Singkek atau yang dikenal dengan sebutan China totok.[2] Sedang pers berbahasa Melayu dikelola kalangan Tionghoa peranakan. Seperti apakah kiprah mereka dalam mendorong perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah?
Menurut catatan Abdul Wakhid (Lembaran Sejarah, 1999), awal kemunculan industri pers milik kalangan China totok yang berbahasa asli dari Tiongkok berkaitan erat dengan Soe Po Sia - suatu organisasi perkumpulan pers revolusioner Tiongkok yang berhubungan langsung dengan Dr Sun Yat Sen -- atau Siang Hwee - organisasi kamar dagang yang didominasi kalangan China totok. Namun jumlah pers yang berbahasa asli Tiongkok terbilang terbatas. Antara lain adalah Huauo Bao (Jakarta), Zhaowa Gong Bao (Semarang), dan Hanwen Xinbao (Surabaya).
Sementara pers milik Tionghoa peranakan muncul setelah timbulnya gerakan Pan-China di Jawa akibat pengaruh propaganda nasionalisme Dr Sun Yat Sen di China daratan. Namun pers milik Tionghoa peranakan tetap memakai bahasa Melayu. Sebab, mereka sudah banyak yang tak paham lagi dengan bahasa asli Tiongkok. Kebiasaan mereka juga sudah berbeda karena banyak yang menyerap dan terserap dalam budaya local pribumi.
Surat kabar milik Tionghoa peranakan yang pertama terbit adalah Li Po. Surat kabar yang dicetak di Sukabumi, Jawa Barat, itu menyebarkan ajaran Konghucu dan berkaitan dengan berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) -- organisasi Pan-China pertama di Jakarta pada tahun 1900. Tak lama kemudian muncul sejumlah surat kabar lainnya, seperti Pewarta Soerabaia (Surabaya-1902), Warna Warta (Semarang-1902), Chabar Perniagaan (Jakarta-1903), Djawa Tengah (Semarang-1909), dan Sin Po (Jakarta-1910).
Dekade 1920-an, kalangan Tionghoa peranakan menerbitkan sejumlah suratkabar lagi. Antara lain Bing Seng (Jakarta-1922), Keng Po (Jakarta-1923), Sin Jit Po (Surabaya-1924), Soeara Publiek (Surabaya-1925), dan Sin Bin (Bandung-1925). Pada dekade 1930-an, surat kabar Tionghoa peranakan makin bertambah banyak akibat pengaruh perang anti-Jepang. Namun surat kabar Tionghoa peranakan tidak semuanya anti-Jepang, seperti yang ditunjukkan Mata Hari (Semarang) dan Hong Po (Jakarta).
Dari segi redaksional, susunan staf surat kabar Tionghoa peranankan semula menggunakan tenaga dari Indo - Eropa, seperti yang dilakukan Chabar Perniagaan dan Sin Po pada awal terbitnya. Dalam perkembangannya, surat kabar Tionghoa peranankan bisa mandiri. Bahkan, ada yang memberikan kesempatan kepada orang-orang bumiputra (pribumi) sebagai jurnalis atau pengelola. Hal itu ditunjukkan oleh pengelola Keng Po, Siang Po, Sin Po, Pewarta Soersbsis, Mata Hari, dan Sin Tit Po.
Namun, jika dilihat dari spectrum politis yang dipantulkan dari surat kabar Tionghoa, setidaknya bisa dibagi dalam tiga aliran; yakni Kelompok Sin Po, Kelompok Chung Hwa Hui, dan Kelompok Indonesier (orang Indonesia). Kelompok Sin Po menolak kewarganegaraan Belanda dan menghendaki tumbuhnya nasionalisme Tiongkok. Sementara Kelompok Chung Hwa Hui cenderung pro-Belanda tapi masih ingin mempertahankan identitas etnisnya. Sedang Kelompok Indonesier tetap ingin mempertahankan identitas etniknya, tapi secara politik ingin berasimilasi dengan masyarakat local dan bersedia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.[3]
Ketika kalangan intelektual bumiputra (pribumi) masih kesulitan mengelola pers secara mandiri, surat kabar milik Tionghoa awal abad ke-20 menjadi salah satu sumber dan media penting untuk mendorong pergerakan nasional Indonesia guna melawan penjajah Belanda.
Sikap Belanda terhadap pers milik yang dikelola kalangan Tionghoa awal abad ke-20 lalu cenderung lunak dan bisa dikatakan tidak mendapat represif -- berupa pembredelan atau penangkapan - seperti yang dialami jurnalis pribumi. Sebab, pers Tionghoa dianggap netral. Sikap lunak Belanda ini mungkin tak lepas dari kepentingan Belanda kala itu yang ingin memanfaatkan kaum Tionghoa sebagai alat politik dan ekonomi.
Namun kalau akhirnya ada Tionghoa peranakan yang memiliki benih-benih rasa anti-Belanda seperti yang ditunjukkan Tionghoa Indonesier, hal itu juga bukan suatu keanehan. Sebab, sepak terjang orang Belanda terhadap orang Tionghoa juga berubah-ubah dan diskrimininatif. Bahkan, di Batavia pernah terjadi pembantaian massal terhadap kaum Tionghoa yang menelan korban sekitar 10 ribu jiwa.
Adalah surat kabar Sin Tit Po sebagai wakil pers Tionghoa peranakan yang bersedia menerima penuh ideologi nasionalisme Indonesia. Pengelola surat kabar -- yang juga menjadi corong setengah resmi Partai Tionghoa Indonesia (PTI) ini -- menganggap Indonesia sebagai tanah airnya dan bersedia berjuang untuk kemerdekaan. Mereka juga merasa, nasibnya telah terikat dengan nasib orang Indonesia pribumi. Tak aneh jika Sin Tit Po ikut menyebarkan ide-ide nasionalisme Indonesia.
Lantas bagaimana dengan surat kabar Tionghoa yang pro-nasionalisme Tiongkok? Menurut Abdul Wakhid, meskipun surat kabar Sin Po berhaluan ke nasionalisme Tiongkok, bukan berarti mereka mengabaikan perjuangan nasional Indonesia. Apalagi, kelompok Sin Po juga menolak kewarganegaraan Belanda. Mereka tetap menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia. Pemberitaann Sin Po tidak mengabaikan peristiwa-peristiwa penting di Indonesia hingga bisa memberikan kesadaran dan inspirasi bagi perjuangan. Dalam beberepa periode, Sin Po banyak memakai wartawan bumiputra dan banyak memuat berita pergerakan. WR Supratman juga tercatat sebagai wartawan Sin Po. Melalui Sin Po juga lagu Indonesia Raya gubahan WR Supratman -- yang menjadi lagu kebangsaan Indonesia - pertama kali dipublikasikan. Sementara Ir Soekarno juga dikenal dekat dengan Sin Po.
Pendek kata, hubungan pers Tionghoa dengan nasionalisme Indonesia dapat dilihat melalui fungsi-fungsi yang dijalankan pers. Menurut Nio Joe Lan, fungsi pers bukan sekadar memberikan informasi dan penyuluhan, tapi juga memberikan pendidikan masyarakat. Dari segi penyajian, bahasa yang diapakai pers Tionghoa peranakan adalah bahasa Melayu, sehingga secara tak langsung juga memasyarakatkan bahasa Melayu yang ketika itu sedang dikampnayekan sebagai bahasa persatuan di Indonesia melalui Sumpah Pemuda. Fungsi-fungsi pers sebagai media informasi dan pendidikan perjaungan ini, paling tidak juga ikut andil dalam menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia kala itu.
Ancaman pembredelan dan tekanan represif Belanda merupakan hambatan berat bagi kalangan bumiputra dalam mengelola surat kabar yang independen untuk mengobarkan api perjuangan. Untungnya, pengelola surat kabar Tionghoa peranakan bersikap terbuka dan memberikan tempat bagi kaum pribumi untuk belajar.
Sementara perkembangan pers milik Tionghoa sendiri, sampai tahun 1940-an, mengalami perkembangan pesat dengan olpah cukup besar. Sin Po misalnya, mampu menembus 25.000. Meski secara umum pers Tionghoa dianggap tidak berbahaya oleh penguasa Belanda, ada juga yang terkena delik pers. Seperti yang dialami Liem Koen Hian dari Keng Po yang dikenai denda karena dianggap menghina Landraad. Ketika Belanda menyingkir dan Jepang menguasai Jawa 1942, penerbitan pers banyak ditutup. Hiruk pikuk pers perjuangan jadi kendor luar biasa. Jurnalis Tionghoa ada yang ditangkapi dan baru dilepas tahun 1945 ketika Jepang menyerah dan keluar dari Indonesia.
Sejarah pers milik Tionghoa di Indonesia - baik yang berbahasa Melayu atau berbahasa Tiongkok - hanya bertahan sekitar setengah abad. Namun, keberadaannya dinilai memiliki makna cukup penting bagi kaum Tionghoa sendiri maupun bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.[4]
Perkembangan pers milik Tionghoa tahun 1940-an memang sempat mengalami perkembangan pesat dan mampu menembus olpah cukup besar. Hal itu tak lepas dari dukungan kelengkapan sarana produksi yang mereka miliki, seperti percetakan sendiri dan dukungan finansial yang kuat. Hanya saja, ketika Jepang mengambil-alih kekuasaan di Indonesia, keberadaan pers Tionghoa seperti tenggelam akibat tekanan represif. Jurnalis Tionghoa ada yang ditangkapi dan baru dilepas tahun 1945 ketika Jepang menyerah dan keluar dari Indonesia.
Siauw Giok Tjhan -- salah satu tokoh Tionghoa Indonesia yang pernah menjadi menteri setelah proklamasi dan utusan Indonesia pertemuan Inter Asian Conference pertama di New Delhi-India pada tahun 1947 -- paling tidak juga berani meunjukkan sikap politiknya.
Hanya saja, selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru lalu, kaum Tionghoa terkesan sangat sensitif jika diajak ngobrol masalah politis. Ironisnya, untuk merayakan tahun baru Imlek saja sampai tidak boleh oleh penguasa Orde Baru. Praktis, kalangan Tionghoa Indonesia terkesan hanya berkutat pada masalah ekonomi dan perdagangan. Tak aneh, ketika proses reformasi bergulir dan kaum Tionghoa bisa merayakan tahun baru Imlek secara terbuka lagi, ada yang mengaku lega.
2. Batasan Masalah
Agar penulisan tidak meluas, maka perlu dilakukan pembhasan masalah yang menyangkut antara lain:
- Bagaimana peran warga Tionghoa dalam pers Melayu Tionghoa awal abad XX
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang timbul dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Bagaimana peran warga Tionghoa dalam pers Melayu Tionghoa awal abad XX
4. Tujuan Penelitian
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Untuk mengetahui Bagaimana peran warga Tionghoa dalam pers Melayu Tionghoa awal abad XX
5. Manfaat Penelitian
Agar penelitian tidak mendapatkan hasil yang sia-sia, maka penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
a. Bagi Unesa
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai perwujudan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat
b. Bagi masyarakat
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pengetahuan dan wawasan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan di atas, sehingga dapat dipakai sabagai bahan acuan serta masukan bagi pihak lain yang ingin mengadakan penelitian sejarah lebih lanjut
c. Bagi penulis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu untuk mengembangkan ilmu yang diperoleh selama dibangku kuliah dan menambah wawasan dalam bentuk karya ilmiah.
6. Kajian Pustaka
Pers Melayu Tionghoa adalah pers yang berbahasa Melayu. Salah seorang yang menjadi editor adalah Lo Tun Hay yang pada tahun 1869 diangkat menjadi editor di surat kabar dwimingguan Matahari (Ahmat Adam, 2003: 101). Umumnya warga Tionghoa waktu itu adalah pedagang eceran yang membuka toko di kota besar atau penjaja yang masuk sampai ke kampong-kampung. Pendidikan mereka adalah dalam bahasa Melayu yang kualitasnya tidak terlalu tinggi.[5]
Peran warga Tionghoa yaitu keterlibatan warga Tionghoa dalam sumbangsihnya terhadap dunia pers dan eksistensi Indonesia dalam memperoleh dan memepertahankan kemerdekaan. Jika pada mulanya mereka hanya sekedar sebagai pengecer atau pengedar surat kabar, dalam perkembangannya warga Tionghoa bergerak untuk dapat membuat percetakan sendiri.[6]
7. Metode Penelitian
Dalam penyusunan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah yang digunakan untuk mengungkap kembali kebenaran unsur-unsur budaya bagaimana peran warga Tionghoa dalam pers Melayu Tionghoa awal abad XX yang menyangkut kepekaan terhadap nasionalisme terhadap Indonesia adalah mengumpulkan sumber-sumber data secara heuristik. Sumber primer yang berhasil diperoleh, diantaranya: sumber visual berupa koran dan majalah (Sin Po, Sin Tit Po, Pantcawarna).
Guna memperkuat sumber yang diperoleh, selain sumber visual yang diperoleh juga menggunakan sumber tradisi lisan, melalui interview dengan saksi sejarah yang pada waktu itu terlibat secara langsung yaitu . Oei Hiem Hwie.[7] Selain itu juga diperlukan sumber-sumber kepustakaan melalui literatur yang dapat dilihat pada halaman daftar pustaka yang diperoleh dari perpustakaan Unesa, perpustakaan daerah Jawa Timur, perpustakaan Nasional Jakarta, dan data-data.
Penulis melakukan kritik sumber yang kaitannya dengan peran warga Tionghoa dalam pers Melayu Tionghoa awal abad XX, meliputi kritik intern dan kritik ekstern. Berdasarkan kritik yang dilakukan selanjutnya penulis melakukan interpretasi atau penafsiran yang mengusut hubungan antara fakta untuk menjelaskan aksplanasi sejarah.
Penulisan laporan merupakan kegiatan akhir dalam tahap penelitian ini setelah penulis melakukan serangkaian kegiatan penelitian mulai pengumpulan sumber, kritik sejarah, interpretasi selanjutnya masuk pada tahap penulisn laporan (historiografi).
8. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah memahami perencanaan penelitian, maka di bawah ini akan dijelaskan sebagai berikut:
Bab I berisi tentang pendahuluan didalamnya membahas tentang latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BabII berisi tentang tinjauan pers Melayu Tionghoa meliputi sub pokok bahasan: tinjauan pers Melayu Tionghoa (latar belakang sejarah pers Melayu Tionghoa).
Bab III berisi tentang peran warga Tionghoa dalam pers Melayu Tionghoa awal abad XX meliputi sub pokok bahasan peran warga Tionghoa dalam pers Melayu Tionghoa awal abad XX unsur-unsur social dan politik di dalamnya.
Bab IV berisi tentang perkembangan pers Melayu Tionghoa dan peran warga Tionghoa di dalamnya pada awal abad XX, meliputi sub pokok bahasan pers Melayu Tionghoa dan peran warga Tionghoa di dalamnya pada awal abad XX.
Bab V Sebagai penutup, pada bab ini akan dijelaskan mengenai simpulan–simpulan hasil penelitian serta saran-saran yang membangun dan dilanjutkan dengan daftar pustaka, daftar foto/gambar, serta daftar lampiran.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Ahmat. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kesadaran Keindonesiaan, Jakarta: Hasta Mitra.
Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
Nasution, A.H. 1979. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 5. Bandung: Penerbit Angkasa.
Panyarikan, Ktut Sudiri. 1993. Sejarah Indonesia Baru Dari Pergerakan Nasional Sampai Dekrit Presiden. Malang: Penerbit ikip Malang.
Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada University Press.
Setiono, Benny G. 2003. Tionghoa dalam Pusara Politik. Jakarta: Elkasa.
Suryadinata, Leo. 1990. Mencari Identitas Nasional. Jakarta: LP3ES.
[1]Ahmad Adam, Sejarah Pers Indonesia dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan. Jakarta, 2003.Hasta Mitra. Hlm. 2
[4] H. Soebagiyo I. N., Sejarah Pers Tndonesia, Dewan Pers, Jakarta, 1977, hal. 7-8
[5] Benny G Setiono,.. Tionghoa dalam Pusara Politik. Jakarta, 2003, hlm. 427
[7] Oei Hiem Hwie merupakan peranakan Tionghoa yang lahir di Surabaya, 24 November 1935,
saat ini menempati sebuah rumah kontrakan di bilangan Jl Medayu Selatan VII F-22 Kompleks Perumahan Kosagrha Medokan Ayu Rungkut Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar