Sempu island

Sempu island
featuring cicak rebel

Kamis, 19 Agustus 2010

Pemberontakan Petani Banten 1888 (Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo)

Konsep – konsep yang dipakai dalam penulisan Sejarah

  • Konsepnya Hoshbawn : Konsepnya Hosbown mengenai gerakan – gerakan kuno (archaic) dan gerakan – gerakan urban atau industrial. Karakteristik – karakteristik modern itu dapat modern itu dapat ditemukan dalam gerakan – gerakan sosial modern seperti yang dimaksud oleh Heberte, umpamanya, gerakan buruh, gerakan petani, nazisme, zionisme, komunisme. Konsepnay mengenai gerakan sosial begitu luas sehingga mencakup pula gerakan – gerakan petani. Dalam hal ini Prof. Sartono Kartodirjo selaku penulis menganggap bahwa gerakan – gerakan itu mempunyai karakteristik yang sama. Dimana gerakan – gerakan itu bersifat tradisional, lokan atau regional dan berumur pendek. Didalam gerakan – gerakan itu tidak ditemui ciri – ciri modern seperti organisasi, ideologi – ideologi modern dan aktifitas yang meliputi seluruh negeri.   

  • Konsepnya Talmon : terkait denga teori bunuh diri. Pemberontakan petani di Jawa merupakan hal yang inheren dengan bentuk magis religius dari pengejawantahanperjuangan mereka. Dari sini kita jumpai perbedaan antara pemberontakan petani Banten dengan gerakan politik modern dengan ideologi yang sekuler serta alat – alat organisasi yang efektif . Namun, terdapat suatu kesinambungan dari pemberontakan – pemberontakan religius pra-modern sampai kepada gerakan revolusioner yang besar – besaran dan sifatnya sekuler.




  • Konsepnya Van de venter : Van de venter terkenal dengan tiga teorinya yaitu Pendidikan, Transmigrasi dan Irigasi. Berdasarkan karya – karya mengenai historiografi kolonial Indonesia penulis ( prof.Dr.Sartono Kartodirdjo) menganggap belum ada pemberontakan petani yang telah dibahas secara khusus, namun didalam catatan Van de venter telah disebutkan adanya irigasi merupakan bukti peranan historis yang telah dimainkan oleh kaum petani.

  • Konsepnya Indonesia sentris : dalam menulis sejarahnya prof.Dr.Sartono Kartodirdjo mencoba menggunakan konsep Indonesia-sentris. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Resink (1950) pendekatan Indonesia-sentris ini telah dibahas dalam seminar mengenai sejarah Indonesia di Yogyakarta tahun 1957. Sebaliknya sikap yang Belanda-sentris memandang sejarah Indonesia hanya sebagai sambungan sejarah Belanda, dan oleh karenanya, menurut pandangan itu, rakyat Indonesia tidak memainkan peranan yang aktif dan sangat esensial bagi sudut pandang Indonesia-sentris adalah peranan aktif. Manusia Indonesia dalam sejarah Indonesia yang merupakan kontras dengan peranan ekstra yang dikenakan kepadanya oleh ahli – ahli kolonial sejarah kolonial dalam historiografi kolonial.

  • Konsepnya Multidimensional : Pendekatan ini dengan referensi khusus kepada sejarah nasional di Indonesia. Penulis buku ini (Prof.Dr.Sartono Kartodirdjo) sengaja menggunakan pendekatan ini. Yang berawal dari pendekatan struktural terhadap sejarah Indonesia akan dapat memberikan sorotan yang lebih jelas mengenai berbagai segi masyarakat masyarakat Indonesia dan pola – pola perkembangannya. Penggunaan pendekatan struktural akan berguna dalam usaha menemukan berbagai aspek perkembangan historis di Indonesia, dimana dramatis personal-nya adalah orang – orang Indonesia sendiri.

  • Konsepnya Hosbown ( 1963 ) : terkenal dengan konsepnya tentang dikotomi gerakan – gerakan sosial. Memandang berbagai bentuk gerakan sosial sebagai kasus – kasus dalam suatu kontinum dari gerakan – gearakan religious sampai kepada gerakan sekuler mengenai pemberontakan tahun 1888 di Banten, masalahnya adalah untuk mengidentifikasikan peranan yang telah dimainkan oleh gagasan – gagasan magic Religi dan Mesionis di dalam geakan itu. Dalam studi mengenai gerakan – gerakan sosial di Indonesia adalah penting sekali untuk mengadakan pembedan yang jelas antara gerakan – gerakan yang kuno dan gerakan – gerakan modern.

  • Konsep konsep sebab – akibat dan kondisi sosial : sebagaimana yang telah dipakai oleh penulis – penulis sepeti mc.Iver (1943), Morriscohem (1947), Dofring (1960), Aron (1961). Alat ini digunakan semata – mata sebagai alat metodologis. Seluruh prosedur analisa dan sintesa harus didasarkan atas suatu rancangan teoritis,dimana konsep – konsep merupakan unsur – unsur utamanya. Didefinisikan sebcara luas, istilah ”kondisi” mengacu kepada suatu motif, variabel atau sebab. Tujuan studi ini tidak hanya untuk melukiskan pa yang terjadi dan kapan. Melainkan juga bagaimana, apa yang terjdi dan kapan, melainkan juga bagaimana dan apa sebabnya hl itu terjdi. Persoalan – persoalan itu jelas mengacu kepada masalah sebab musabab atau faktor – faktor kondisional. 

  •  Pendekatan antara Sosiologi dan Sejarah sebagaimana dipakai oleh penulis – penulis sepeti Worsely (1957), Wilson (1960), Cohn (1961), Hobsbown (1963). Pada umumnya orang terpaksa menggunakan disiplin – disiplin iu mengingat sifat pokok persoalannya itu sendiri serta bahan – bahan yang tersedia. Satu – satunya pokok persoalan yang jelas – jelas memperlihatkan saling ketergantungan yang aktual atau potensial antara sejarah dan soiologi adalh gerakan sosial. Pilihan atas topik ini memberikan kesempatan yang luas untuk mengkombinasikan kedua garis penyelidikan. 
  
  • Konsepnya Max Weber (1964) : konsep mengenai otoritas tradisional, karismatik dan legasl-rasional bisa diuji dlam kaitannya dengan perkembangan politik di Banten Abad XIX. Untuk memperoleh pemahaman yang lengkap mengenaui determinan – deteminan gerakan sosial, kita perlu memperhitungkan proses politik sebagai suatu konsep yang mengacu kepada interaksi antara berbagai unsur sosial yang bersaing untuk memperoleh alokasi otoritas.  

  • Konsep milenarisme : sebagaimana dituliskan oleh Bodrogi (1951), Belandier (1953), Emet (1956), worsley (1957), Kobben (1962), Lanternari (1963). Hal ini relevan bai studi ini karena mengacu kepada peristiwa – peristiwa, proses dan kecenderungan – kecederungan yang ikut membantu timbulnya aliran – aliran anti Barat. Pemberontakan – pemberontakan petani dapat dipandang sebagai gerakan – gerakan protes terhadap masuknya perekonomian Brat yang tidak diinginkan di tahap pengawasan politik, dua hal yang merongrong tatanan masyarakat tradisional.

  • Konsep Transformasi dari Tradisional ke Modernitas : seperti karya – karya Burger (1949 – 1950), Scrike (1955), Wertheim (1959). Dengan mulai berlakunya perekonomian uang, timbulnya buruh upah dan ditegakkannya administrasi pusat, maka terjadilah keruntuhan umum struktur ekonomi dan politik yang tradisional.




  • Konsep Dinamika Kultur Mengenai Aliran – Aliran Mesianik : konsep ini sebenarny dipakai oleh Drewes dalam tulisannya dengan tujuan utamanya adalah analisa teks mengenai aliran – aliran milenari dan mesionik. Konsep ini bertolak belakang dengan penulis buku ini lebih memperhatikan aspek – aspek sosiologis dari gerakan – gerakan sosial itu.  

  • Konsep - konsep struktural mengenai gagasan – gagasan mesianik : Sebagaimana karya Snouck Hugronje yang menyoroti tentang kehadiran Mahdi seperti yang berkembang di negeri – negeri Islam. Gagasan – gagasan ini membawa penulis buku ini (prof.Dr.Sartono Kartodirdjo) kepada kesimpulan bahwa mesianisme, dipandang sebagai filsafat sejarah, mengandung gagasan – gagasan mengenai gerakan sejarah manusia linier dengan memasukkan kedalamnya unsurb siklis.

  • Konsep Gerakan Navistik : oleh penulis di manifestasikan seperti kultus – kultus Cargo di Melanisea, Tari roh di Amerika Utara, Kimbangisme di Afrika, Mahdisme di Afrika Utara dan negeri – negeri Islam lainnya. Semuaya telah dipelajari secara mendalam dan menyeluruh.

  • Konsep perubahan sosial : disintegrasi dan disorganisasi sosial serta hal – hal yang menyertainya pergolakan, konflik dan mobilitas sosial telah diabaikan. Masalah konflik sosial diantara berbagai kelas dalam masyarakat Banten jelas merupakan salah satu masalah yang paling terasa dimana – mana mengenai gerakan – gerakan sosila itu telah dipelajari dari sudut pandang sosiologis, umpamanya oleh Yoder ( 1927 – 1928), Meadows (1943), Steward J. Burger (1944), Heberte (1949), King (1956).

  • Konsep Konflik Sosial : sebagaimana ditulis oleh Leach (1954), Gluckman (1963), Firth (1964), Wertheim (1965). Masyarakat Banten dalam abad XIX merupakan suatu contoh darin situasi konflik yang kronis. Masyarakat Banten tidak lagi dalam kekuatan yang statis dan seimbang, melainkan terdiri dari gologan – golongan yang saling bersaing, yang bersikap antagonistis dan bersengketa satu sama lain, sehingga menyeret masyarakat ketitik kekacauan.

  • Konsep sosio – antropologis : menurut Evan – Pritchard (1961. hal. 14 – 15) gerakan – gerakan sosial karena sifat – sifat dasarnya, menjadi suatu bidang bersama bagi beberapa disiplin. Konsep sosio – antropologis yang dipakai oleh penulis buku ini (Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo) berusaha untuk menyatakan korelasi antara kecenderungan – kecenderungan sosial dengan peristiwa. Peristiwa politik disatu pihak dan pola – pola kultural dipihak lain melibatkan suatu pendekatan sosio – antropologis, lingkup antropologis – sosial adalah identik dengan lingkup apa yang oleh ilmuwan – ilmuwan kontinental dinamakan sosiologi, ditinjau dari segi bidang dan metodenya. Sudut pandangan sosiologi dan antropologi sosial atas dasar suatu orientasi keagamaan atau ideologi golongan – golongan yang merasa dirugikan, yang bertujuan memulihkan apa yang mereka anggap sebagai tatanan tradisional.  

  • Konsep sosio – ekonomis : Berdasar laporan Banten ( Benda – Mc Vey. 1960) yang membahas pemberontakan komunis dalam 1926 – 1927, faktor – faktor yang menyebabkan adanya kecenderungan untuk berontak harus dicarai, maka pertanyaannya adalah sampai sejauh mana antara korelasi antara penetrasi sistem ekonomi barat dan ketidakstabilan situasi sosial yang berkecenderungan untuk meletus menjadi pemberontakan.

  • Konsep korelasi antara milenarisme dan akulturasi : sebagaimana yang dipelajari oleh Barber (1941), Luiton (1948), Wallace (1956, Herkovits (1958), Mair (1958). Menurut penulis buku ini (Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo) pemberontakan itu sebagai hasil suatu gerakan sosial yang telah berlangsung lama, dapat dipandang dari segi akulturasi pada umumnya, dan milenarisme pada khususnya.
  • Kosep agama dan perubahan sosial : yang ditulis oleh Wallis (1943), Yinger (1957), menurut penulis buku ini (Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo). Kita dapat melihat proses – proses perubahan sosial dan gejala – gejala menyertai – konflik sosial, disorganiosasi dan reintegrasi sosial. Berdasarkan sosiologi Agama akan menampilkan proses – proses yang esensial seperti sekularisasi, identifikasi golongan dan escpism.

  • Pendekatan Konvensional dan Historiografi Kolonial : sebagaimana ditulis oleh (Meiinsma 1872 – 1875, Van de Venter 1886 – 1887, Veth 1896 : dapat dilihat dalam bab I ”pendekatan konvensional dalam histriografi kolonial berdasarkan atas fakta dalam pendekatan itu menganggap rakyat pada umumnya dan kaum tani pada khususya hanya memainkan peranan yang sangat pasif saja. Historiografi colonial mengenai abad XIV memberikan tekanan yang besar kepada susunan lembaga – lembaga pemerintahan pada umumnya dan kepada soal pembuatan undang – undang dan pelaksanaannya dan jarang melampaui tingkat struktur – struktur formal.

  • Konsepnya Benda dalam JSAH Mengenai Pendekatan Struktural Terhadap Sejarah Asia Tenggara : Hal ini dapat dilihat dalam bab I : ” oleh karena dianggap sebagai pra politis, tidak artikulat, dan tidak ada hubungannya dengan peristiwa – peristiwa bersejarah yang besar fakta – fakta yang berkaitan dengan gerakan – gerakan sosial itu juga tak mempunyai arti yang besar bagi ahli – ahli sejarah yang tidak menggali lebih dalam dari laporan – laporan sejarah yang terutama bersifat politis, dan yang bertolak dari anggapan bahwa jaringan sejarah politik itu disanggah oleh keragka yang terdiri dari tokoh – tokoh yang terkenal, badan – badan politik dan peperangan. Sejarah yang terlalu mengutamakan politik itu nampaknya tak memuaskan karena perspektifnya sempit : kita harus meninggalkan pendekatan historiografi Kolonial yang mengikuti kecenderungan umum studi sejarah konvensional dengan hanya menyerap fakta – fakta mengenai peristiwa dan episode politik yang besar. Kita harus menembus sampai ketingkat faktor – faktor yang mengkondisikan peristiwa itu. Dilihat dari sudut pandang ini, peristiwa sejarah yang unik menjadi manifestasi kekuatan – kekuatan yang lebih fundamental yang menampakkan diri di permukaan. Satu kelemahan lainnya aspek – aspek struktural sejarah Inonesia, dengan demikian ia tidak dapat menyingkap bukan saja proses – proses sosial dan politik masyarakat Indonesia dimasa lampau. Jelaslah bahwa suatu pendekatan terhadap sejarah Indonesia akan dapat memberikan sorotan yang lebih jelas mengenai berbagai segi masyarakat Indonesia dan pola – pola perkembangannya.

  • Konsepnya Resink : yang menyususn beberapa konsep yang Indonesia sentris. Dapat dilihat dalam bab I : sikap yang Belanda – sentris memandang sejarah Indonesia hanya sebagai sambungan sejarah Belanda, dan oleh karenanya, menurut pandangan itu rakyat Indonesia tidak memainkan peranan yang aktif. 

  •  Konsep Gerakan Milenarisme : Sebagaimana yang ditulis oleh Bodrogi ( 1951), Guiart ( 1951), Pieris (1962), sebuah tijauan yang kompeherensif mengenai gerakan – gerakan milenarisme sebagai perjuangan melawan kekuasaan asing. Hal ini dapat dilihat dalam bab I : ”diantara studi – studi mengenai gerakan – gerakan itu, banyak yang membahas gerakan dalam situasi colonial yang melibatkan suatu penolakan terhadap dominasi penguasa asing.”

  •  Konsepnya Evans Pritchard  mengenai gerakan – gerakan sosial : karena sifat – sifat aslinya menjadi suatu bidang bersama bagi beberapa disiplin. Lingkup antropologi sosial adalah identik dengan lingkup apa yan oleh ilmuwan – ilmuwan continental dinamakan sosiologi. Hal ini dapat dilihat dalam Bab I : yang esensial bagi jenis analisa ini adalah studi menegnai perubahan – peruabahan yang terjadi dalam bentuk dan komposisi pola – pola nilai dalam masyarakat Banten. Usaha untuk mengadakan korelasi antara kecenderungan sosial dan peristiwa – peristiwa politik di satu pihak dan pola – pola kultural di pihak lain melibatkan suatu pendekatan sosio – antropologis. Gagasan milenari digunakan oleh pemimpin – pemimpin agama untuk menghasut rakyat agar memberontak dapat dijelaskan dari sudut pandangan sosiologi dan antropologi sosial atas dasar suatu orientasi keagamaan atau ideologi golongan – golongan yang merasa dirugikan yang bertujuan memulihkan apa yang mereka anggap sebagai tatanan tradisional.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar