BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulis
Masyarakat Jawa sebagian besar merupakan masyarakat agraris yang memandang tanah sebagai aset penting dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan tanah merupakan sumber daya alam yang diolah untuk keperluan hidup. Tanah bagi masyarakat agraris berfungsi sebagai aset prduksi untuk dapat menghasilkan komoditas hasil pertanian, baik untuk tanaman pangan ataupun tanaman perdagangan.
Posisi penting tanah dalam masyarakat pedesaan Jawa terlihat dari istilah “sedumuk bathuk sanyari bumi, den lakoni taker pati, sanadyan pecahing dhadha wutahing ludira”. Istilah tersebut menunjukkan tingginya apresiasi masyarakat Jawa dalam memaknai tanah, bahkan dalam mempertahankan tanah harus dibela meskipun sampai mati, tidak peduli pecahnya dada dan tumpahnya darah. Hal ini menunjukkan bahwa tiap jengkal tanah berselimutkan kehormatan dan martabat pemiliknya. Tanah dengan demikian merupakan persoalan hidup mati (survival), kepentingan, harga diri, eksistensi, “ideologi”, dan nilai (Sastroatmodjo, 2007:28)
Permasalahan tanah inilah yang menurut Sartono Kartodirdjo pada akhirnya mampu menggerakan masyarakat, dalam hal ini adalah petani, untuk melakukan gerakan protes petani, sebuah gerakan protes menentang pemaksaan oleh tuan tanah maupun pemerintah. Permasalahan tanah ini pulalah yang dapat memicu gerakan petani lainnya, yakni gerakan messianistis, yakni gerakan yang menginginkan terciptanya dunia baru serba adil, dan gerakan revivalis yakni gerakan yang ingin membangkitkan kejayaan masa lampau.
Tanah menjadi salah satu penyebab berbagai gerakan protes petani. Gerakan protes petani di Klaten tahun 1959-1965 terjadi karena ketidakseimbangan penguasaan tanah yang pada akhirnya memunculkan ketegangan-ketegangan akibat kebijakan pemerintah Republik Indonesia dalam bidang agraria. Masalah tentang tanah dengan demikian menjadi salah satu permasalahan pokok masyarakat petani. Bahkan secara ekstrem dapat dinyatakan bahwa sejarah tentang masyarakat petani adalah sejarah tentang tanah, meliputi penguasaan tanah, hak pengelolaan tanah, tugas dan tanggung jawab pengelola tanah, dan sebagainya.
B. Metode Penulisan
Pendekatan metode dalam penulisannya menggunakan aliran struktural Parson karena antar struktur yang dibahas saling berkaitan dalam menguraikan gerakan protes di daerah Klaten. Seperti struktur sistem sosial pada stratifikasi masyarakat antara kuli kenceng-kuli setengah kenceng-kuli gundul-pengindung-indung templek-pengindung tlosor berhubungan dengan sistem budaya dalam pembagian tanah warisan sesuai dengan agama yang dianut masyarakat. Sehingga walaupun secara formal oleh pemerintah melarang pemecahan tanaha pertanian, namun di dalam masyarakat masih sering terjadi pemecahan tanah pertanian. Sedangkan pada struktur organisasi, kiprah dari organisasi yang sedang berkembang pesat saat itu seperti BTI (Barisan Tani Maju) menjadi wadah dan mengkoordinir gerakan warga yang merasa kurang puas dengan sistem pemerintah. Slogan-slogan pun bermunculan seperti ”tanah untuk petani penggarap, dan ganyang tujuh setan desa”.
C. Sumber yang digunakan
- terdapat sumber primer dari berbagai arsip agraria maupun keputusan - keputusan pejabat atau laporan bulanan serta tahunan, selain itu juga data statistik serta surat – surat keluar atau masuk dari organisasi yang berhubungan dengan penelitian.
- sumber sekunder yang digunakan berasal dari buku – buku yang memiliki hubungan dekat dengan bahasan topik Landreform serta gerakan protes petani di Jawa khususnya di Klaten dari segi organisasi, ekonomi, budaya, ideologi, maupun hukum.
- saksi atau pelaku sejarah yang masih hidup hingga tahun 1900an juga turut andil dengan wawancara atau interview para pejabat serta tokoh di tahun 1964.
D. Teori yang digunakan
Landreform dan gerakan protes petani Klaten 1959 – 1965 menguraikan tentang jenis gerakan petani yang menentang baik pemaksaan dari tuan tanah maupun pemerintah menurut teori Sartono Kartidirdjo dan menitik beratkan pada segi sosial ekonomi.
Pilihan jangka waktu digunakan untuk mengungkapkan keadaan sebelum dilakukan landreform pada tahun 1961 di daerah Klaten dan akhir jangka waktu dihubungkan dengan gerakan protes petani yang mencapai titik akhir pada tahun 1965, bersamaan juga dengan mulainya penumpasan Gerakan 30 September.
E. Resensi buku
Kondisi tanah di daerah Klaten yang masih dalam wilayah Karesidenan Surakarta ada beberapa macam. Di wilayah kabupaten Klaten dibagian barat laut, tanahnya mengandung pasir dan abu yang cocok ditanami untuk polowijo dan lazim disebut tanah tegalan. Dan dibagian selatan bersifat liat serta sebagian berkapur yang hanya dapat ditanami saat musin penghujan, tanah seperti ini sering disebut sawah tadah hujan.
Di kabupaten Klaten mempunyai kepadatan penduduk yang tertinggi di Jawa Tengah sehingga berdampak pada tekanan penduduk dan kesempatan kerja. Hal itu juga mempengaruhi stratifikasi sosial yang digolongkan menjadi beberapa lapisan. Lapisan tertinggi ialah kuli kenceng yaitu yang memiliki sebidang tanah pekarangan dan sawah. Setingkat dibawahnya adalah kuli setengah kenceng yang hanya memiliki sebidang pekarangan saja. Kemudian kuli gundul yaitu seseorang yang tidak memiliki baik tanah maupun sawah. Berlanjut ke pengindung yang mendirikan rumah diatas pekarangan milik orang lain dan berhak menikmati hasil dari pekarangan yang ditempati. Serta Pengindung templek yang mendirikan bangunan kecil yang digandengkan dengan rumah milik orang lain. Dan lapisan paling bawah ialah pengindung tlosor yang bertepat tinggal pada suatu keluarga tanpa membawa alat-alat rumah tangga atau bisaanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga dalam suatu keluarga.
Strata sosial yang ada di daerah Klaten mengakibatkan terjadinya mobilitas sosial. Mobilitas yang sering ialah mobilitas vertikal sebagai perpindahan status seseorang yang rendah ke status yang lebih tinggi. Misalnya seseorang yang berstatus pengindung dapat membeli sebidang tanah pekarangan, dengan demikian orang itu berubah statusnya menjadi kuli setengah kenceng.
Aktivitas warga Klaten juga menentukan situasi politik yang terbentuk. Situasi politik yang pada saat itu diwarnai oleh partai komunis atau PKI yang mendapatkan banyak suara dalam pemilu 1955 dan menjadi kekuatan yang terbesar kemudian berturut-turut dibawahnya diikuti oleh PNI, Masyumi, dan Gerindo. Sedangkan untuk organisasi islam posisinya terpecah dalam STII, SBII maupun NU.
Situasi politik juga dapat menentukan kebijaksaanpemerintah atas daerah Klaten. Di daerah Klaten perkembangan hak atas tanah dari ”Apanage Stelsel” sampai sampai masa ”Reorganisasi kompleks pada tahun 1917” kekuasaan tertinggi ada pada raja Surakarta sehingga rakyat dipungut pajak jika menggunakan tanah yang dikuasai raja secara langsung atau tidak langsung. Dalam hal pembayaran pajak raja menyerahkannya pada bekel yang mengkoordinir untuk mengerjakan tanak yang dikuasai raja secara langsung maupun tidak langsung. Dan kekuasaan petani sangatlah lemah karena berkedudukan sebagai buruh atau kuli.
Masa setelah ”Reorganisasi kompleks pada tahun 1917” sampai masa ”Rijksbladen” tahun 1938 rakyat diberikan hak atas tanah yang lebih kuat, apanage dihapus, dibentuk kelurahan-kelurahan, dan mengubah dasar sewa tanah dari yang bersifat pribadi menuju kepada hak kebendaan. Status kekuasaan tertinggi atas tanah bukan lagi milik raja, tetapi negara atau pemerintah kasunanan atau kasultanan.
Pada masa selanjutnya setelah ”Rijksbladen tahun 1938” sampai dengan masa ”lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 ” wewenang desa dapat membatalkan hak atas tanah dengan alasan yang pertama menyewaan tanahnya yang dalam perjanjian ada yang dilanggar, hak waris yang tidak segera diurus oleh keluarga seperti persyaratan dari desa, semua kegiatan tentang pertanian sepeeti jual-beli-hibah-gadai yang tidak seizin atau sepengetahuan desa. Hal sepeeti itu membuat desa semakin kuat haknya dalam mengurus hak atas tanah dan seiring dengan itu juga hak petani juga semakin kuat. Dengan masih berlakunya cara penguasaan tanah yang bersifat feodal dan tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, masuklah komunis dengan menggalangkan dan mengkoordinir para petani yang kuarang puas kedalam organisasi BTI (Barisan Tani Indonesia).
Bentuk-bentuk sirkulasi penguasaan tanah ialah persewaan, penggadaian serta perjanjian bagi hasil atas tanah pertanian dikelola dalam lembaga persewaan yang mnegurusi tentang sewa-menyewa. Lembaga gadai yang berhubungan antara seseorang dengan tanah milik orang lain yang mempunyai hutang kepadanya, selama hutang itu belum dibayar lunas maka, tanah tetap menjadi milik yang meminjamkan uang dan hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai dan mendapatkan bunga dari hutang tersebut. Lembaga bagi hasil mengurusi tentang perjanjian bagi hasil dengan perjanjian yang menggunakan nama apapun yang diadakan antara pemilik di satu pihak dan seseorang dipihak lain atau disebut penggarap yang didalamnya disebutkan tentang bagi hasil.
Serangkaian tindakan lain dalam rangka agrarian Indonesia reform ialah Landreform. Landreform menata kembali aturan – aturan tentang tanah agar masyarakat Klaten lebih makmur. Landreform sebagai Azas-azas pokok yang dapat dijumpai dalam undang-undang poko agraria (UUPA). Kemudian menimbulkan ketidak puasan pada beberapa orang dan menyulut gerakan protes petani kepada pemerintah dan tuan tanah.
BAB II
PEMBAHASAN
SUBSTANSI
A. Landreform
Pengertian landreform dalam arti luas adalah perombakan undang-undang agraria yang lama diganti dengan yang baru, serta penyelesaiaan masalah-masalah agraria (agararia reform indonesia). Berarti landreform yang meliputi bidang yang lebih luas dari pembaharuan undang-undang agararia saja.
Sedangkan dalam arti sempit landreform menunjukan perubahan mengenai kepemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah. Dalam hal ini landreform merupakan serangkaian tindakan dalam rangka agrarian Indonesia reform. Azas-azas pokok dalam landreform itu dapat dijumpai dalam undang-undang poko agraria (UUPA). Dalam hal ini yang akan dipakai sebagai pembahasan adalah landreform dalam artian sempit(UUPA).
Landreform bertujuan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, meningkatkan taraf hidup petani khususnya, serta seluruh rakayat jelata pada umumnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa landreform bertujuan untuk memperkuat dan memperluas pemilikan tanah, bagi seluruh rakyat Indonesia terutama kaum tani. Tujuan landreform di Indonesia adalah: (a) untuk melakukan pembagian yang adil atas sumber kehidupan tani berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian yang adil pula. Merombak struktur pertahanan sama sekali revolusioner guna merealisasikan keadialn sosial. (b) untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani, supaya tanah tidak menjadi alat pemerasan. (c) untuk memperkuat dan memperluas hak milk atas tanah bagi setiap warga Negara Indonesia. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap hak milik.hak milik adalah hak yang yang terkuat yang bersifat perorangan dan turun temurun. (d) Untuk mengakhiri system tuan tanah dan dan menghapus pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran denga cara menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga. Dengan demikian ada pemberian perlindungan terhadap golongan yang ekonomis lemah.
Majelis permusyawaratan rakyat sementara di dalam ketetapanya No. II/MPRS/1960, tentang garis-garis besar pola pembangunan semesta berencana dalam tahapan pertama.1961-1969 dalam pasal 4 ayat 3 menyebutkan bahwa landreform sebagai bagian mutlak dari pada revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan alat penghisapan.
Dalam rangka meningkatkan pertanian rakyat maka soal landreform merupakan suatu hal yang penting untuk memperbesar kepastian hukum mengenai pemilikan tanah untuk para petani dengan demikian akan memperbesar kegairahan bekerja baginya. Demikian antara lain isi statement wakil perdan menteri bidang ekonomi dan pembangunan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 12 april 1966. Dinyatakan pula dalam statement itu suatu harapan agar pelaksanaan landreform dapat mempertinggi produksi pertanian yang jatuh ketangan petani yang berhak menerimanya.
Pokok penentuan mengenai larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas maksimum diatur di dalam UUPA di dalam UUPA pasal 7, di tetapkan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan dari penjelasannya, dapat diketahui bahwa pasal tersebut bemaksud untuk mencegah dan mengakhiri dan mencegah
Diakui atau tidak, pelaksanaan landrefrom 1960-1965 lah yang paling siap. Bila dilihat dari segi dukungan pemerintah, politisi serta kesiapan organisasi rakyatnya, terutama organisasi tani saat itu. Dua syarat ini selalu menjadi titik tekan untuk keberhasilan program landreform. Namun pelaksanaan landreform di era itu tetap gagal, bahkan nyaris tidak ada bekasnya kecuali UUPA No.5/1960.
Bercermin dari kegagalan landreform tahun 1960-1965, maka tantangan terbesar dari Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) adalah menemukan dan menentukan pendukung utama untuk menghadang kekuatan anti landreform yang dipastikan akan bereaksi.
Sejak Awal pemerintah sebetulnya sudah memahami bakal terjadinya ketimpangan atas penguasaan pemilikan tanah. Karena itu, pemerintah menerbitkan UU No 56 PRP Tahun 1960 dan PP No 224 Tahun 1961 tentang landreform Pada waktu itu, mungkin juga dinilai sangat tepat.Yang dijadikan tanah landreform itu adalah pertama, tanah negara bebas dan diredistribusikan ke masyarakat. Kedua, tanah pertikelir. Di zaman Belanda dikenal pertuanan tanah. Seorang tuan tanah bisa memberikan tanah kepada seseorang. Ketiga, kelebihan maksimum. Pada Peraturan Pemerintah No 224 Tahun 1961 itu ada pembatasan pemilikan penguasaan maksimum atas tanah, baik tanah pertanian (sawah atau darat). Oleh negara, tanah kelebihan itu diambil dengan memberikan ganti rugi. Dulu ada yang namanya yayasan dana land reform yang dibentuk sejak tahun 1960. Jadi, setiap ada pemilikan penguasaan lahan yang melebihi ketentuan, maka diberikan ganti rugi.
Sumber landreform lainnya adalah tanah absentee, yakni tanah pertanian yang dikuasai oleh seseorang di luar kecamatan atau di luar kecamatan yang berbatasan dengan tanah itu. Ini juga merupakan sumber-sumber tanah landreform. Sekarang tersebut tanah negara bebas sudah tidak ada lagi. Tanah partikelir juga tidak ada lagi. Demikian pula, tanah kelebihan maksimum, tidak ada lagi. Sementara, tanah absentee tidak efektif. Pasalnya, bukan apa-apa karena mendapatkan KTP di Indonesia itu sangat mudah. BPN itu tidak mempunyai hak uji material. Sehingga dalam memproses sertifikat tanah itu, kalau sudah sesuai dengan prosedur maka sertifikatnya dikeluarkan. KTP tidak bisa diuji benar atau palsu oleh BPN. Asal memenuhi ketentuan maka pasti dikaji. ”Itu yang sebetulnya tidak efektif, sehingga banyak masyarakat kota dengan mudah memiliki tanah di daerah.
B. Gerakan Protes Petani di Daerah Klaten
- Gerakan protes petani terhadap pemerintah
Keresahan sosial atau apa yang bisaa yang bisa disebut sebagai sosial unrest yang telah berlangsung lama akan menimbulkan keegangan-ketegangan di dalam masyarakat. Puncaknya, ledakan tersebut dapat menyebabkan pertentangan terbuka. Pertentangan di masyarakat pedesaan daerah Klaten antara lain tampak dalam bentuk penganiayaan oleh seseorang atas orang lain, pertentangan antarkelompok petani serta gerakan protes yan ditujukan kepada pemerintah.
Gerakan protes petani terhadap pemerintah di dalam menyewa tanah untuk kepetingan perkebunan sudah ada sejak 1962. Pada tahun ini, Bupati Klaten mengeluarkan peraturan yang berhubungan dengan persewaan tanah untuk perusahaan perkebunan. Di dalam pertauran itu ditetapkan bahwa petani diwajibkan menyerahkan satu patok tanahnya serta penanaman tanman perkebunan yang mempergunkan sistem glebangan.
Dengan dikeluarkannya peraturan Bupati tersebut, petani merasa dirugikan. Diantara mereka ada yang menolak kebijaksanaan pemerintah dengan sikap memperlambat waktu penyerahan tanah, tidak mau menerima uang sewa, atau bahkan menolak sawahnya disewa oleh perushaan perkebunan. Petani yang bersikap seperti itu terdapat di kecamatan Jogolawan yang meliputi tujuh kelurahan: Granting, Prawatan, Joton, Tambakan, Rejoso, dan Sumyang. Diantara petani yang memprotes tersebut ada seorang petani yang menjadi anggota dari Persatuan Tani Nahdlatul Ulama (PERTANU). Ia bernama Wartiono.
Protes petani nampak pada aksi pembakaran perkebunan tebu dan los tembakau. Menurut laporan Kepala Polisi Distrik Padan, pada April 1964 sebagian besar tanaman tebu yang terletak di kelurahan Sentono kecamatan Karangdowo mengalami banyk kerusakan. Yang mendapat pertentangan dari petani bukan hanya perusahaan perkebunan yang mengusahakan tanaman tembakau dan tebu saja, tetapi juga yang mengusahakan tanaman rosella. Sedangkan gerakan protes petani di kecamatan Karanganom berbentuk penolakan pembayaran uang muka (voorschot) uang sewa dan menolak untuk menyerahkan sawahnya.
- Gerakan protes petani terhadap tuan tanah
Gerakan protes petani terhadap tuan tanah di daerah Klaten untuk kali pertama terjadi pada Februari 1964 yang dikenal dengan aksi sepihak (aksef). Sebelum gerakan aksef terjadi, CS PKI Klaten menyelenggarakan pertemuan terbuka di lapangan kota Klaten yang dinamakan “Laporan Ceramah Pertanggungjawaban PKI”. Tidak lama setelah gerakan aksef terjadi, di gedung Tong Hoo Klaten diselenggarakan konferensi BTI. Disebutkan bahwa BTI turut bertanggungjawab untuk mengatasi masalah sandang pangan, melaksanakan UUPA dan UUPBH, mengganyang Malaisya dan tuan tanah, yang berlandaskan kepada perjuangan kelas buruh dan petani miskin serta kegotongroyongan untuk mengemban Ampera berporoskan Nasakom.
Aksef yang terjadi di daerah Klaten, antara lain bertujuan untuk: (1) merebut kembali tanah yang telah disewakan; (2) merebut kembali tanah yang telah digadaikan; (3) merebut kembali tanah yang sudah dijual; (4) mempertahankan tanah OG yang telah dilelang oleh orang lain. Para pejabat di Klaten menduga bahwa konferensi BTI itu berpengaruh terhadap gerakan aksef yang timbul di daerah Klaten. Gerakan aksef yang terjadi pada Maret 1964 antara lain bertujuan untuk merebut kembali sawah yang disewakan. Petani yang meminta paksa sawahnya pada umumnya adalah anggota BTI dan cara meminta kembali sawah yang disewakan itu juga melalui organisasi BTI.
Sehubungan dengan banyaknya protes petani yang terjadi, beberapa pejabat pemerintah mengemukakan pendapatnya tentang kebijaksanaan pemerintah tersebut. Tentang Undang-Undang Nomor 38 tahun 1960 yang mengatur tentang penggunaan dan penetapan luas tanah untuk tanaman tertentu. Bupati Klaten mnegakui bahwa undang-undang tersebut kurang sempurna.
Organisasi-organisasi politik rupanya saling berlomba untuk memperoleh dukungan dari rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut antara lain tampak dengan diselenggarakannya pertemuan, rapat serta ceramah. Di dalam laporan politik kabupaten Klaten 1964 da awal 1965 kegiatan PKI beserta massanya hamper selalu tercantum. Kegiatan tersebut dilukiskan sebagai berusaha memperkuat organisasinya dengan aktif yang diikuti oleh organisasi buruh, pemuda, tani, maupun wanitanya antara lain kegiatan tersebut bertujuan untuk memperdalam pengetahuan berorganisasi yang didasarkan pada ajaran Marxisme/Leninisme.
Dalam menyebarkan ideologiya, organisasi poitik aktif melakukan kegiatan. Untuk mencapai usaha tersebut, masing-masing organisasi memiliki cara yang berbeda. BTI lebih menekankan gerakannya pada sekitar kehidupan petai miskin dan buruh tani. Sedangkan PNI selain berusaha memperluas pengaruhnya di kalangan petani, juga di kalangan pejabat. Organisasi yang bersifat keagamaan, misalnya NU dan Muhammadiyah, aktif memperluas pengaruhnya lewat pengajian.
PENUTUP
Simpulan
Dengan mengambil unsur pembaharuan hukum agraria sebagai bagian dari lendreform, maka dapat dikatakan bahwa sejak masa pemerintahan tradisional lendreform telah dilaksanakan di kabupaten Surakarta. Dengan dasar yang berbeda, ledreform pada tahun 1960 menunjukkan kaitannya dengan gerakan protes petani di daerah Klaten.
Apabila perubahan mengenai pemilikan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah merupakan unsur dari lenreform tahun 1960, maka kenyatan-kenyataan di daerah Klaten yang berhubungan dengan pelaksanaan lendreform adalah sebagai berikut:
Struktur tanah di daerah Klaten pada umumnya pecah-pecah dan letaknya berpencar-pencar. Keadaan semacam ini mengakibatkan menurunnya efisiensi produksi. Konsentrasi penguasaan tanah ada hubungannya dengan jabatan pamong desa. Di kalangan masyarakat pedesaan, penguasaan tanah masih merupakan ukuran terhadap tinggi rendahya status seseorang.
Di antara bentuk-bentuk penguasaan tanah untuk sementara, lembaga bagi hasil adalah yang paling tua. Beberapa bentuk penguasaan tanah untuk sementara yang masih ada di dalam masyarakat Klaten adalah lembaga persewaan dan bagi hasil, sedangkan lembaga gadai sudah jarang ditemui.
Dengan lendreform pemerintah berusaha meningkatkan taraf hidup petani. Cara yang ditempuh oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut anatara lain: (a) menciptakan keseimbangan di dalam penguasa tanah; (b) mengusahakan agar produksi pertanian setinggi mungkin; serta (c) di dalam pembagian hasil pertaian agar dilaksanakan dengan adil. Melalui lendreform pula, pemerintah berusaha melindungi petani yang lemah ekonminya, misalnya petani yang menggadaikan sawahnya.
Salah satu gerakan yang timbul di Klaten, bertujuan untuk menebus kembali tanah yang digadaikan. Pelaksanaan lendreform di daerah Klaten belum mencapai sasarannya. Beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut antara lain: (a) belum terbentuknya panitia lendreform tingkat desa di seluruh wilayah kabupaten Klaten; (b) di dalam melaksakan lendreform panitia kabupaten maupun panitia di tingkat desa masih melakukan pelanggarakan terhadap undang-undang lendreform, serta: (c) pada umumnya pemilik tanah menolah untuk melaksanakan bagi hasil menurut ketentuan dalam UUPBH.
Pada tahun 1960-1965 di daerah Klaten timbul gerakan petani. Dari gerakan-gerakan yang terjadi, beberapa hal yang perlu dicatat adalah sebagai berikut:
- Tujuan gerakan. Pada tahun 1960-an tujuan gerakan banyak ditujukan kepada pemerintah, sedangkan pada tahun 1964-1965 sasaran gerakan lebih banyak ditujukan kepada tuan tanah. Gerakan protes petani muncul dengan alasan yang berbeda-beda, tetapi pada umumya sebab yang utama adalah karena uang sewa yang terlalu rendah. Di dalam melakukan gerakan petani bisaanya dibantu oleh ratusan orang. Karena melalui prosedur resmi mereka tidak memperoleh persetujuan, maka mereka menempuh cara kekerasan yang disebit dengan aksi sepihak atau aksef.
- Pengaruh dari organisasi tertentu terhadap gerakan gerakan petani. Yang dapat diketahui dengan jelas adalah keterlibatan seorang petani asal Gantiwarno, Wartiono sebagai salah seorang anggota PERTANU. Sedangkan tentang gerakan aksef telah mendapat pengaruh dari BTI. Kendati demikian tidak seluruhnya pelaku gerakan adalah anggota BTI.
- Sistem organisasi yang teratur. Untuk memobilisasi anggotanya. BTI telah mempergunakan komunikasi dengan baik. Ketaatan terhadap pimpinan organisasi cukup tinggi.
- Pola kepemimpinan berkisar pada pejabat tingkat desa beserta keluarganya. Kecakapan berbicara dan sifat pemberani merupakan dasar otoritas terhadap pengikut-pengikutnya. Dari peristiwa aksef dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara frekuensi timbulnya gerakan dengan dengan tigkat kesuburan tanah karena jangka waktu persewan seringkali mencapai puluhan tahun. Di daerah subur pula, perjanjian bagi hasil tradisional, yaitu sistem mertelu dengan sromo maupun mrapat masih berlaku. Hal ini dibuktikan dengan gerakan yang timbul di daerah Wonosari di wilayh kabupaten Klaten yang paling subur.
Daftar Pustaka
- Padmo,Soegianto.2000. Landreform dan Gerakan Protest Petani Klaten 1959 - 1965 . Yogyakarta:Media Pressindo
- Sastroatmodjo, Sudijono. 2007. “’Sedumuk Bathuk Senyari Bumi’, Regulasi Tanah dan Demo Rakyat (Petani) dalam Menyoal Hak Atas Tanah”. Kompas Mahasiswa. Edisi 79 tahun 2007. Hlm. 28-35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar