Sempu island

Sempu island
featuring cicak rebel

Selasa, 24 Agustus 2010

de Graduation of Historian 06

Surabaya, 24 Agustus 2010

Tepat pada pukul 11.11 WIB Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Surabaya telah meluluskan 207 yudisiawan(i) yang akan mengikuti prosesi Wisuda ke-69 pada 2&3 Oktober 2010.

Congratulation all,,
semoga berkah untuk meniti langkah berikutnya,, amiieen


Kamis, 19 Agustus 2010

Waktu Gua Masih Gendut

X: Waktu aku masih gendut
Y: Emang udah kurus,,???
X: Ya masih siy,, tapi kan lumayan udah turun 2kg hehe
Y: Yaaaelaaahhh,, sama ajee kalle,,
     Apanya yang kurus kalo cuman kurang segitu doank,,
X: Yee,, ini kan turunnya alami kagak pake diet2an segala,, ;p
Y: Bokis tuuh,,
X: Lu ajah tuh yang sewot,, gua mah besyukur wae,, daripada nambah mulu ndutna hahahhaha :D
Y: Ahh,, lu mah ngeles mulu kerjaanya,,
X: Boleh donk usaha,,
     Tapi selama gua gendut banyak banget yang bisa dipelajarin
Y: Apaan tuh,,
X: Menurut pengalaman gua ne,,
     Selama gua kurus gua lebih belajar menghargain hidup,,
     Lebih belajar bersabar, bersyukur, dan ikhlas,,
Y: Emang gitu,, kagak percaya ne gua,,
X: Idihh,, beneran lagi,,
     Gua bisa bicara gitu karena emang gua sendiri pan yang ngalamin,,
     Banyak emang orang2 yang nyibir gua waktu gua masih gendut,,
     Kagak enak dilihat lah, bikin males lah, ngabisin jatah makan, bahkan sampek bikin ban bocor waktu          diboncengin naek motor,,
     Busyeet daah,, ampuuuuunn gua,,
Y: Huahahahahaha,,
     Emang kagak salah tuh,, ban motor gua juga bocor gara2 bonceng lu tuh,,
X: Resek lu,,
     Ntw pan ang jalannya wae yang ge rusak,, mask gara2 gua siy,, >'<
Y: Iya deeh iya,, jalanye ma lu juga hahahahha,,
X: Dasar!!!
Y: Yang pasti lu pan dah kurusan ne,,
     Sekarang mending hidup lebih teratur aje yee,,
     Benar tuuh ksgsk udsh diet2tan malah bikin jeek dibadan,,
     Kurus mah kurus, bentar doank,, bis ntw beeeehhh ogah bilang deeh gua,,
X: heem,,
    Tumbben lu pinter dikit hehe justkid boii,,
Y: Lu tuh tambahhin syukurnya,,
    Pagimana pun,, lu mo gendut kek mo kagak kek,,
    Gua slalu ada buat lu,,
X: Hiks,, hiks,, jadi terharu gua dengernya,,
    Nuhun yak,, T_T
Y: Ahh biasa ajah lah boii,,
    Tapi kopi jatah buat gua jangan diembat jga donkk,,
    Kebiasaan lu mah,,
X: Punteb yak,, spontan gua munimnya hahahaha

voor mai Inuyasha

Aku senang menyebutnya dengan "Inuyasha"ku,,
Sedikit banyak ada karakter yang hampir sama dengannya,,


BUDAYA INDIES

PENDAHULUAN
Sebutan Indis berasal dari istilah Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda dalam bahasa Indonesia. Itulah nama suatu daerah jajahan Pemerintah Belanda di Timur Jauh, dan karena itu sering disebut juga Nederlandsch Oost Indie. Orang Belanda pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1619. Mereka semula berdagang tetapi kemudian memonopoli lewat VOC dan akhirnya menjadi penguasa sampai datangnya Jepang pada tahun 1942. Kehadiran orang-orang Belanda selama tiga abad di Indonesia tentu memberi pengaruh pada segala macam aspek kehidupan. Perubahan antara lain juga melanda seni bangunan atau arsitektur.
Pada mulanya bangunan dari orang-orang Belanda di Indonesia khususnya di Jawa, bertolak dari arsitektur kolonial yang disesuaikan dengan kondisi tropis dan lingkungan budaya. Sebutannya landhuiz, yaitu hasil perkembangan rumah tradisional Hindu-Jawa yang diubah dengan penggunaan teknik, material batu, besi, dan genteng atau seng. Arsitek landhuizen yang terkenal saat itu antara lain Wolff Schoemaker, DW Berrety, dan Cardeel.
Dalam membuat peraturan tentang bangunan gedung perkantoran dan rumah kedinasan Pemerintah Belanda memakai istilah Indische Huizen atau Indo Europeesche Bouwkunst. Hal ini mungkin dikarenakan bentuk bangunan yang tidak lagi murni bergaya Eropa, tetapi sudah bercampur dengan rumah adat Indonesia.
Penggunaan kata Indis untuk gaya bangunan seiring dengan semakin populernya. istilah Indis pada berbagai macam institusi seperti Partai Indische Bond atau Indische Veeneging. Arsitektur Indis merupakan asimilasi atau campuran dari unsur-unsur budaya Barat terutama Belanda dengan budaya Indonesia khususnya dari Jawa.
Dari segi politis, pengertian arsitektur Indis juga dimaksud untuk membedakan dengan bangunan tradisional yang lebih dahulu telah eksis, bahkan oleh Pemerintah Belanda bentuk bangunan Indis dikukuhkan sebagai gaya yang harus ditaati, sebagai simbol kekuasaan, status sosial, dan kebesaran penguasa saat itu.
Sebelum kedatangan Belanda, sebenarnya sudah banyak bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu datang ke Indonesia antara lain dari Cina, India, Vietnam, Arab, dan Portugis, yang memberi pengaruh pada budaya asli. Karena itu, dalam bangunan Indis juga terkandung berbagai macam unsur budaya tersebut. Faktor-faktor lain yang ikut berintegrasi dalam proses perancangan antara lain faktor lingkungan, iklim atau cuaca, tersedia material, teknik pembuatan, kondisi sosial politik, ekonomi, kesenian, dan agama.
Bentuk rumah bergaya Indis sepintas tampak seperti bangunan tradisional dengan atap berbentuk Joglo Limasan. Bagian depan berupa selasar terbuka sebagai tempat untuk penerimaan tamu. Kamar tidur terletak pada bagian tengah, di sisi kiri dan kanan, sedang ruang yang terapit difungsikan untuk ruang makan atau perjamuan makan malam. Bagian belakang terbuka untuk minum teh pada sore hari sambil membaca buku dan mendengarkan radio, merangkap sebagai ruang dansa.
Di Surabaya, bangunan tersebut nampak pada gedung-gedung cagar budaya yang sebagian besar terdapat di wilayah Surabaya bagian Utara. Misalnya gedung tinggi nan kokoh yang sekarang digunakan sebagai Bank Mandiri, kawasan Pabean, dah kompleks wahana pemerintahan, seperti kediaman gubernur dan hotel. Hala ini pun sebenarnya terlihat di beberapa kota besar lainnya, seperti Jakarta dan Semarang. Umumnya bangunan tersebut tinggi dan memiliki banyak jendela. Demikian juga di kota Malang yang memiliki arsitektur dan pengaruh budaya insdies yang kuat.
Pengaruh budaya Barat terlihat pada pilar-pilar besar, mengingatkan kita pada gaya bangunan Parthenon dari zaman Yunani dan Romawi. Lampu-lampu gantung dari Italia dipasang pada serambi depan membuat bangunan tampak megah terutama pada malam hari. Pintu terletak tepat di tengah diapit dengan jendela-jendela besar pada sisi kiri dan kanan. Antara jendela dan pintu dipasang cermin besar dengan patung porselen. Khusus untuk gedung-gedung perkantoran, pemerintahan, dan rumah-rumah dinas para penguasa di daerah masih ditambah lagi dengan atribut-atribut tersendiri seperti payung kebesaran, tombak dan lain-lain agar tampak lebih berwibawa. Orang-orang Belanda, pemilik perkebunan, golongan priayi dan penduduk pribumi yang telah mencapai pendidikan tinggi merupakan masyarakat papan atas, ikut mendorong penyebaran kebudayaan Indis lewat gaya hidup yang serbamewah.
Kebudayaan Indis sebagai perpaduan budaya Belanda dan Jawa juga terjalin dalam berbagai aspek misalnya dalam pola tingkah laku, cara berpakaian, sopan santun dalam pergaulan, cara makan, cara berbahasa, penataan ruang, dan gaya hidup. Arsitektur Indis sebagai manifestasi dari nilai-nilai budaya yang berlaku pada zaman itu ditampilkan lewat kualitas bahan, dimensi ruang yang besar, gemerlapnya cahaya, pemilihan perabot, dan seni ukir kualitas tinggi sebagai penghias gedung.
Mengamati arsitektur Indis hendaknya kita jangan terpaku pada keindahan bentuk luar semata, tetapi juga harus bisa melihat jiwa atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Rob Niewenhuijs dalam tulisannya Oost Indische Spiegel yaitu pencerminan budaya Indis, menyebutkan bahwa sistem pergaulan dan tentunya juga kegiatan yang terjadi di dalam bangunan yang bergaya Indis merupakan jalinan pertukaran norma budaya Jawa dengan Belanda. Manusia Belanda berbaur ke dalam lingkungan budaya Jawa dan sebaliknya.
Pengukuhan kekuasaan kolonial saat itu tertuang dalam kebijakan yang dinamakan “politik etis”. Prinsipnya bertujuan meningkatkan kondisi kehidupan penduduk pribumi. Di lain fihak penguasa juga memperbesar jumlah kedatangan orang Belanda ke Indonesia yang secara langsung membutuhkan sarana tempat tinggal berupa rumah-rumah dinas dan gedung-gedung.
Di sini terlihat jelas bahwa ternyata semua peristiwa yang dialami pada tiap kehidupan manusia bisa memberi dampak yang besar terhadap pandangan arsitektur. Bahwa gagasan arsitektur sesungguhnya juga dipengaruhi oleh situasi dinamika sosial budaya manusia dan sekaligus menjadi bagian dari padanya.

Arsitektur Indis telah berhasil memenuhi nilai-nilai budaya yang dibutuhkan oleh penguasa karena dianggap bisa dijadikan sebagai simbol status, keagungan dan kebesaran kekuasaan terhadap masyarakat jajahannya. Perkembangan arsitektur Indis sangat determinan karena didukung oleh peraturan-peraturan dan menjadi keharusan yang harus ditaati oleh para ambtenar, penentu kebijaksanaan. Pemerintah kolonial Belanda menjadikan arsitektur Indis sebagai standar dalam pembangunan gedung-gedung baik milik pemerintah maupun swasta. Bentuk tersebut ditiru oleh mereka yang berkecukupan terutama para pedagang dari etnis tertentu dengan harapan agar memperoleh kesan pada status sosial yang sama dengan para penguasa dan priayi.
Arsitektur Indis tidak hanya berlaku pada rumah tinggal semata tetapi juga mencakup bangunan lain seperti stasiun kereta api, kantor pos, gedung-gedung perkumpulan, pertokoan, dan lain-lain. Adapun pudarnya arsitektur Indis mungkin disebabkan oleh konsekuensi historis yang menyangkut berbagai aspek sosial budaya.
Menurut Denys Lombard, sejarah terbentuknya budaya Indis karena didorong oleh kekuasaan Hindia Belanda yang berkehendak menjalankan pemerintahan dengan menyesuaikan diri pada kondisi budaya masyarakat di wilayah kolonialnya. Dengan datangnya perubahan zaman dan hapusnya kolonialisme, maka berakhirlah pula kejayaan budaya feodal termasuk perkembangan arsitektur Indis. Dalam periode kemerdekaan, bangsa Indonesia menganggap arsitektur Indis sebagai monumen dan simbol budaya priayi yang tidak bisa lagi dipertahankan dan dijadikan kebanggaan, maka kehancurannya tidak perlu diratapi.
Arsitektur Indis mencapai puncaknya pada akhir abad ke- 19. Seiring dengan perkembangan kota yang modern, lambat laun gaya Indis ditinggalkan dan berubah menjadi bangunan-bangunan baru (nieuwe bouwen) yang bergaya art-deco sebagai gaya internasional.


Salah satu adanya contoh kebudayaan Indis adalah pasar malam. Pasar malam besar menyorot tiga ciri khas dalam kebudayaan Indo- Belanda: makan, kebudayaan dan bahasa. Berbagai restoran dan acara belajar masak bisa anda jumpai di pasar malam, dari makanan khas Jawa Timur sampai ke makanan Indis, makanan campuran gaya Indonesia dan Belanda. Ihwal budaya, pasar malam ini menyediakan berbagai panggung dan teater, serta mengundang para artis Indonesia dan Belanda yang berlatar belakang Indonesia untuk memamerkan kebolehan mereka.
Setiap tahun diundang orkes keroncong dari Indonesia, Belanda atau negara lain, misalnya Malaysia. Dan akhir-akhir ini dangdut pun mendapat perhatian juga. Bahasa khas kelompok Indis ini adalah campuran Belanda dengan bahasa Jawa atau Melayu: bahasa Pecok. Bahasa ini masih bisa didengar selama pasar malam besar ini atau dibaca dalam beberapa buku khas.

BUDAYA INDIES DAN STRATIFIKASI SOSIAL
Sentuhan pertama yang terjadi antara bangsa Indonesia dan bangsa Belanda terjadi ketika ekspedisi Cornelis de Houtman berlabuh di pantai utara Jawa guna mencari rempah rempah. Pada perkembangan selanjutnya terjadi hubungan dagang antara bangsa Indonesia dengan orang orang Belanda. Hubungan  perdagangan tersebut lambat laun berubah drastis menjadi hubungan antara penjajah dan terjajah, terutama setelah didirikannya VOC. Penjajahan Belanda berlangsung sampai tahun 1942, meskipun sempat diselingi oleh Inggris selama lima tahun yaitu antara 1811-1816. Selama kurang lebih tiga ratus lima puluh tahun bangsa Belanda telah memberi pengaruh yang cukup besar terhadap kebudayaan Indonesia.
Kolonialisme Belanda di Indonesia depat dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu : (1). Fase antara 1602-1800 : yaitu fase ketika Belanda dengan VOC menggalakkan handels kapitalisme. (2). Fase antara 1800-1850 : fase ini diselingi oleh penjajahan Inggris, pada masa ini Belanda menciptakan dan melaksanakan cultuurstelsel. (3). Fase antara 1850-1870 ; cultuurstelsel dihapus diganti oleh politik liberal kolonial. (4). Fase setelah 1800 : makin bertambah perusahaan asing yang ada di Indonesia akibat politik open door negeri Belanda.
Selain melakukan imperialisme di bidang ekonomi Belanda juga melakukan imperialisme di bidang kebudayaan. Hal ini terbukti dengan adanya politik etis Van Deventer. Van Deventer dalam Tweede Kamer 1912 menyatakan bahwa Humanisme Barat (maksudnya politik etisnya) telah memberi keuntungan besar, ialah dapat memungkinkan adanya asosiasi kebudayaan antar timur dan barat. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dalam politik etis Van Deventer terutama program edukasinya merupakan pelaksaanan dari politik asosiasi. Politik asosiasi berarti bangsa penjajah berupaya menghilangkan jurang pemisah antara penjajah dengan bangsa terjajah dengan melenyapkan kebudayaan bangsa terjajah diganti dengan kebudayan penjajah.
Politik asosiasi memungkinkan Belanda untuk memasukkan nilai nilai kolonialismenya pada kebudayaan Indonesia, baik yang bersifat rohani, maupun yang terkait dengan produk fisik kebudayaan. Menurut Raymond Kennedy kolonialisme Belanda memiliki ciri ciri pokok sebagai berikut: (1). Membedabedakan warna kulit (color line). (2). Menjadikan tempat jajahan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi negara induk. (3). Perbaikan sosial sedikit. (4). Jarak sosial yang jauh antara bangsa terjajah dengan penjajah.
Dari ciri ciri pokok di atas poin pertama dan poin keempat tercermin dalan
stratifikasi sosial yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Stratifikasi sosial tersebut sebagai berikut : (1). Golongan pertama : orang Belanda dan orang asing ( kulit putih). (2). Golongan kedua : orang timur asing. (3). Golongan ketiga : orang pribumi. Pembedaan golongan kelas sosial berdasar warna kulit tersebut diikuti dengan pembedaan hak dan kewajiban yang diterima. Hal ini berujung untuk menjaga prestise pemerintah kolonial dengan menciptakan superioritas orang kulit putih dan inferioritas pribumi. 
Masyarakat Jawa sebelum masa kolonial Belanda, telah memiliki stratifikasi sosial secara tradisional. Stratifikasi sosial tersebut menggunakan ukuran kedudukan jabatan di pemerintahan. Stratifikasi sosial masyarakat Jawa sebelum kolonial sebagai berikut : (1). Raja sebagai puncaknya. (2). Keluarga raja / bangsawan. (3). Pejabat tinggi, pembantu pribadi / pengikut raja. (4). Kaum rohaniawan. (5). Pejabat rendahan. Secara umum status sosial tertinggi dimiliki oleh raja dan bangsawan / keturunan raja, kemudian pejabat sipil, militer, agama, kehakiman, kecuali ulama istana, golongan tersebut yang disebut matri.
Ada pemisahan antara stratifikasi sosial di pemerintahan pusat dengan di daerah. Pemuka daerah dipandang lebih  rendah kedudukannya dengan pejabat di luar pemerintahan. Stratifikasi sosial di daerah terdiri dari : (1). Akuwu dan anden merupakan golongan tertinggi. (2). Pemuka agama. (3). Petani. (4). Hamba sahaya. Secara umum kedudukan seseorang dalam masyarakat Jawa tradisional diukur dengan dua kriteria : (1). Prinsip kebangsawanan yang berakar dari hubungan darah dengan orang  yang memiliki jabatan di pemerintahan. (2). Prinsip kebangsawanan yang didasarkan dari posisi dalam hierarki birokratis.
Orang yang memiliki status sosial akibat adanya hubungan darah dipandang kedudukannya lebih tinggi dari yang didasarkan dari posisinya dalam hierarki birokratis. Hal ini kemudian ditunjukkan dengan tingkat gelar serta nama kedudukannya. Orang orang yang memiliki status kebangsawanan tersebut merupakan kaum priyayi. Priyayi adalah kaum elit yang secara tradisional, memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari rakyat biasa.
Pada masa peralihan dari kekuasaan feodal menjadi kekuasaan kolonial  menghilang. Hal ini karena kehidupan sosio-ekonomi masyarakat Jawa tidak mengalami perubahan yang fundamental. Namun status sosial bangsa Indonesia yang dibawah bangsa asing baik kulit putih maupun timur asing memberi dampak pada stratifikasi sosial tradisional masyarakat Jawa. Adanya warna kulit yang menjadi ukuran status sosial menjadikan Bangsa Belanda posisinya di atas pribumi, termasuk raja. Meskipun raja dan keluarganya masih ditempatkan di atas bangsa timur asing. Ukuran warna kulit menjadikan bangsa Belanda yang golongan kecil tetapi memiliki hak istimewa ditempatkan di atas pribumi yang  mendapat jabatan di atas pribumi yang harus diangkat berdasar keahlian.
Meskipun raja dan keluarganya di tempatkan di atas bangsa timur asing, priyayi tetap berada dibawah kaum timur asing termasuk golongn pribumi. Masyarakat tradisional Jawa sendiri terbagi menjadi dua yaitu : priyayi dan rakyat biasa atau wong cilik. Priyayi merupakan orang yang berkelas tinggi yang merupakan golongan elit masyarakat Jawa, yang dapat diukur dari tiga aspek : (1). Tradisional : pegawai istana sultan. (2). Kolonial : pengelola kantor pribumi. (3). Keturunan : gelar priyayi meski bukan pegawai pemerintah.
Pada masa kolonial Belanda ukuran untuk disebut sebagai priyayidigunakan ukuran pekerjaan dan keturunan. Dan pada masa itu untuk golongan  pekerjaan tertentu yang ukurannya tinggi bagi pribumi tidak dapat sembarang orang menduduki. Misalnya, pengangkatan seorang pegawai tingkat wedana ke atas digunakan asas keturunan. Hanya keturunan wedana ke atas yang dapat menduduki. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua orang dapat menjadi  priyayi.
Golongan priyayi pada masa kolonial Belanda yang didasarkan pada jabatan kepegawaian status sosialnya sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya jabatan. Makin tinggi jabatan makin tinggi status sosialnya, baik dalam tataran pribumi secara umum maupun dalam kelompok priyayi. Perbedaan status sosial antar kaum priyayi dibagi sebagai berikut : (1). Pangreh praja /pejabat pemerintah daerah. Tertinggi bagi priyayi, diukur  dari sifat kebangsawanan. (2). Bukan pangreh praja : golongan terpelajar dari golongan tiyang alit (wong cilik) yang medapat kedudukan dari pendidikan.
Kota Malang merupakan kota terbesar kedua di propinsi Jawa Timur yang telah lama berdiri sejak zaman kolonial Belanda. Pada zamannya, perencanaan kota Malang sering disebut sebagai salah satu hasil perencanaan kota kolonial yang terbaik di Hindia Belanda. Kota Malang yang kita huni didesain dengan konsep arsitektur kolonial, yang karena nilai estetis dan historisnya yang tinggi patut untuk dipertahankan.
Salah satu sebab mengapa warisan arsitektural dari masa itu yang berupa bangunan kolonial masih dapat dinikmati oleh masyarakat modern adalah karena kekhasan bentuk bangunannya. Para arsitek Belanda yang merancang bangunan-bangunan kolonial di Indonesia pada era 1910-an hingga 1940-an telah berhasil memadukan arsitektur Eropa, khususnya Belanda, dengan teknologi bangunan daerah tropis. Bangunan-bangunan tersebut tetap memiliki gaya Eropa, namun tetap sesuai untuk dihuni di daerah tropis.

Keunikan bangunan inilah yang membedakan bangunan kolonial Belanda dengan bangunan lainnya. Pada bangunan kolonial, terdapat berbagai ciri-ciri khusus yang menghubungkan satu bangunan dengan bangunan lainnya, terutama pada fasade bangunan yang terlihat pertama kali oleh pengunjung.
Kota Malang telah dikuasai Belanda sejak tahun 1767, namun baru berkembang pesat pada awal abad ke-20. Perkembangan yang pesat dalam perencanaan perluasan kota Malang sangat dipengaruhi dari berdirinya Gemeente Malang pada 1 April 1914 dibawah pimpinan walikota pertama, H.I Bussemaker. Perencana utama perkembangan kota Malang pada masa itu adalah Ir. Herman Thomas Karsten, dengan memperhatikan aspek kenyamanan view yang berorientasi pada pemandangan gunung-gunung sekitar kota Malang.
Rencana kota Malang 1920, yang dibuat oleh Ir Thomas Kartsen, merupakan fenomena baru bagi perencanaan kota-kota di Indonesia, kaidah-kaidah perencanaan modern telah memberikan warna baru bagi bentuk tata ruang kota, seperti penggunaan pola boullevard, bentuk-bentuk simetri yang menonjol dan sangat disukai pada periode renaisance.
Pengembangan kawasan pusat kota dengan banguan bergaya Art deco, munculnya bangunan sudut seperti di perempatan PLN, dan bangunan kembar di perempatan Kayutangan serta hadirnya bangunan-bangunan bermenara menandai era baru arsitektur perkotaan di Malang. Gaya arsitektur Indische Empire yang muncul sampai akhir abad ke-19 sempat muncul di Malang. Gaya tersebut terlihat pada gedung asisten residen di dekat alun-alun kota Malang tapi sayang sekali sekarang sudah dirobohkan, bangunan kolonial yang bergaya arsitektur Indische Empire di Kota Malang saat ini bisa dikatakan sudah tidak tersisa lagi.
Bentuk dan tata ruang pusat kota yang terbentuk pada masa pemerintahan Belanda, yang lebih ditujukan bagi kepentingan politis pemerintahan belanda (mengutamakan masyarakat Belanda), ternyata telah menghasilkan bentukan morfologi kota yang cenderung meniru bentuk-bentuk arsitektur gaya Eropa seperti Art Deco, Renaisance, Baroqe dan sebagainya. Dalam konteks historis sebenarnya keberadaan bangunan peninggalan Belanda merupakan potensi (asset) yang dapat dikembangkan bagi perkembangan arsitektur kota Malang. Melalui aturan-aturan produk kolonial, ternyata telah memberikan warna pada bentukan fisik lingkungan baik gaya arsitektur maupun pola-pola tata ruang yang terbentuk.
Bentuk morfologi kawasan tercermin pada pola tata ruang, bentuk arsitektur bangunan, serta elemen-elemen fisik kota lainnya pada keseluruhan konteks perkembangan kota. Perkembangan selanjutnya, kekuatan domain ekonomi, sebagai akibat cepatnya pertumbuhan ekonomi telah membawa implikasi perubahan pada karakter dan bentuk morfologi kawasan pusat kota Malang. Disisi lain, pengendalian perkembangan kawasan pusat kota tidak memperhatikan konteks kesejarahan pembentukan kota, sehingga seperti halnya kota besar lainnya, kota Malang-pun mempunyai kecenderungan kehilangan karakter spesifiknya dan muncul karakter "ketunggalrupaan" arsitektur, sehingga kesinambungan kesejarahan kawasan seolah terputus sebagai akibat pengendalian perkembangan yang kurang memperhatikan aspek morfologis kawasan.
Bangunan kolonial yang terdapat di kota Malang saat ini merupakan hasil arsitektur kolonial yang dibangun pada masa sesudah tahun 1920. Gaya arsitektur kolonial modern setelah tahun 1920 di Hindia Belanda pada waktu itu sering disebut sebagai gaya “Nieuwe Bouwen” yang disesuaikan dengan iklim dan teknik bangunan di Hindia Belanda pada waktu itu. Sebagian besar menonjol dengan ciri-ciri seperti: atap datar, gewel horizontal, volume bangunan yang berbentuk kubus, serta warna cat putih.
Meskipun gaya arsitektur yang ditunjukkan masih banyak dipengaruhi gaya arsitektur Belanda, tapi pada umumnya bentuk arsitektur bangunan sudah beradaptasi dengan iklim setempat. Hal ini dapat terlihat dari bentuk denah dengan menempatkan galery keliling bangunan dengan maksud supaya sinar matahari langsung dan tampias air hujan tidak langsung masuk jendela atau pintu. Adanya atap susun dengan ventilasi atap yang baik serta overstek yang cukup panjang untuk pembayangan tembok.
Contoh bangunan kolonial Belanda adalah : (a) Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia disebelah utara alun-alun dibangun tahun 1915). (b) Palace Hotel (sekarang hotel Pelangi terletak di sebelah selatan alun-alun dibangun tahun 1916). (c) Kantor Pos dan Telegram (sekarang sudah dibongkar terletak di Jalan Basuki Rahmat dibangun antara tahun 1910-an).
Menurut Handinoto dalam buku Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda 1870-1940, bentuk arsitektur kolonial Belanda di Indonesia sesudah tahun 1900-an merupakan hasil kompromi dari arsitektur modern yang berkembang di Belanda yang disesuaikan dengan iklim tropis basah Indonesia. Hasil keseluruhan dari arsitektur kolonial Belanda di Indonesia adalah suatu bentuk khas.
Kekhasan tersebut terletak pada : (a) Penggunaan Gewel (Gable) pada tampak depan bangunan. Gewel adalah bagian berbentuk segitiga dari bagian akhir dinding atap dengan penutup atap yang melereng. (b) Penggunaan tower pada bangunan. Tower adalah bangunana berstruktur tinggi, dapat berdiri sendiri maupun menjadi bagian dari bangunan dengan penerangan dan peralatan internal seperti tangga, dan atap yang jelas. Di Indonesia biasanya membuat tower yang ujungnya diberi atap menjadi mode pada arsitektur kolonial Belanda pada awal abad ke-20. (c) Penggunaan dormer pada atap bangunan Dormer adalah jendela atau bukaan lain yang terletak pada atap yang melereng dan memiliki atap tersendiri. Bingkai dormer biasanya diletakkan vertikal diatas gording pada atap utama.
Pengaruh Eropa mendominasi bangunan-bangunan tersebut khususnya bangunan arsitektur kolonial Belanda, perlu diperhatikan bahwa aspek iklim tropis selalu dipertimbangkan dalam desain bangunan Belanda. Hal itu dapat dilihat pada atap dengan sudut kemiringan yang besar, ventilasi yang baik dan jarak antara lantai dan langit-langit yang tinggi. Teras depan dan teras belakang yang umum ditemukan pada sebagian besar bangunan kolonial Belanda memiliki beberapa fungsi: koridor, ruang antara dari lingkungan luar dengan lingkungan dalam serta isolator panas. Teras ini juga identik dengan Peringgitan dalam rumah joglo di Jawa.
Dari beberapa bangunan di kota Malang khususnya di sekitar alun-alun yang masih mengunakan gaya arsitektur kolonial Belanda dapat diambil beberapa kesamaan ciri pada bangunan, antara lain: Penggunaan portico pada bagian utama bangunan, Penggunaan portico dimaksudkan sebagai penghubung antara ruang dalam dengan ruang luar selain sebagai penghalang sinar matahari langsung dan tempias air hujan.
Sebagai kota yang berkembang dari cikal bakal kota kolonial Balanda, Malang sarat akan bentukan fisik (tata lingkungan, bangunan), yang mempunyai nilai historis dan arsitektur yang dapat menjadi bukti dari tata kota dan arsitektur tertentu (masa kolonial) sebagai hasil dari adanay budaya indies. Oleh sebab itu, hendaknya peninggalan arsitektur kolonial di kota Malang tetap dilestarikan karena selain memiliki nilai historis yang tinggi juga dapat diangkat sebagai karakter spesifik kawasan kota Malang.

PENUTUP
Budaya Indies telah memberikan pengaruh pada banyak hal di Nusantara, khususnya di Jawa Timur tepatnya di kota Malang. Pengaruh-pengaruh tersebut dpat terlihat pada beberapa bentuk bangunan, khususnya bentuk rumah yang berpengaruh terhadap stratifikasi sosial. Hal tersebut menunjukkan suatu kondisi ironis, bahwa produk budaya bangsa yang penuh dengan nilai luhur, malah menunjukkan rendahnya derajat bangsa Indonesia pada masa kolonial. Namun ketika kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, terjadi pendobrakan nilai warisan kolonial Belanda. Ini berujung pada pembongkaran ukuran stratifikasi sosial kolonial Belanda. Hal ini pada akhirnya merubah fungsi bagian-bagian dari rumah.
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu simpulan sebagai berikut. (1). Pengaruh budaya indies dalam bentuk rumah terkait dengan stratifikasi sosial pada masa kolonialisme Belanda. (2). Seiring dengan kemerdekaan bangsa Indonesia terjadi pembongkaran nilai-nilai yang diterapkan kaum kolonial Belanda. Hal ini diikuti adanya pergesaran nilai untuk mengukur status sosial tidak lagi memakai ukuran  warna kulit. Implikasinya dalam menerima tamu tidak lagi dibeda-bedakan perlakuannya.



Pemberontakan Petani Banten 1888 (Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo)

Konsep – konsep yang dipakai dalam penulisan Sejarah

  • Konsepnya Hoshbawn : Konsepnya Hosbown mengenai gerakan – gerakan kuno (archaic) dan gerakan – gerakan urban atau industrial. Karakteristik – karakteristik modern itu dapat modern itu dapat ditemukan dalam gerakan – gerakan sosial modern seperti yang dimaksud oleh Heberte, umpamanya, gerakan buruh, gerakan petani, nazisme, zionisme, komunisme. Konsepnay mengenai gerakan sosial begitu luas sehingga mencakup pula gerakan – gerakan petani. Dalam hal ini Prof. Sartono Kartodirjo selaku penulis menganggap bahwa gerakan – gerakan itu mempunyai karakteristik yang sama. Dimana gerakan – gerakan itu bersifat tradisional, lokan atau regional dan berumur pendek. Didalam gerakan – gerakan itu tidak ditemui ciri – ciri modern seperti organisasi, ideologi – ideologi modern dan aktifitas yang meliputi seluruh negeri.   

  • Konsepnya Talmon : terkait denga teori bunuh diri. Pemberontakan petani di Jawa merupakan hal yang inheren dengan bentuk magis religius dari pengejawantahanperjuangan mereka. Dari sini kita jumpai perbedaan antara pemberontakan petani Banten dengan gerakan politik modern dengan ideologi yang sekuler serta alat – alat organisasi yang efektif . Namun, terdapat suatu kesinambungan dari pemberontakan – pemberontakan religius pra-modern sampai kepada gerakan revolusioner yang besar – besaran dan sifatnya sekuler.




  • Konsepnya Van de venter : Van de venter terkenal dengan tiga teorinya yaitu Pendidikan, Transmigrasi dan Irigasi. Berdasarkan karya – karya mengenai historiografi kolonial Indonesia penulis ( prof.Dr.Sartono Kartodirdjo) menganggap belum ada pemberontakan petani yang telah dibahas secara khusus, namun didalam catatan Van de venter telah disebutkan adanya irigasi merupakan bukti peranan historis yang telah dimainkan oleh kaum petani.

  • Konsepnya Indonesia sentris : dalam menulis sejarahnya prof.Dr.Sartono Kartodirdjo mencoba menggunakan konsep Indonesia-sentris. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Resink (1950) pendekatan Indonesia-sentris ini telah dibahas dalam seminar mengenai sejarah Indonesia di Yogyakarta tahun 1957. Sebaliknya sikap yang Belanda-sentris memandang sejarah Indonesia hanya sebagai sambungan sejarah Belanda, dan oleh karenanya, menurut pandangan itu, rakyat Indonesia tidak memainkan peranan yang aktif dan sangat esensial bagi sudut pandang Indonesia-sentris adalah peranan aktif. Manusia Indonesia dalam sejarah Indonesia yang merupakan kontras dengan peranan ekstra yang dikenakan kepadanya oleh ahli – ahli kolonial sejarah kolonial dalam historiografi kolonial.

  • Konsepnya Multidimensional : Pendekatan ini dengan referensi khusus kepada sejarah nasional di Indonesia. Penulis buku ini (Prof.Dr.Sartono Kartodirdjo) sengaja menggunakan pendekatan ini. Yang berawal dari pendekatan struktural terhadap sejarah Indonesia akan dapat memberikan sorotan yang lebih jelas mengenai berbagai segi masyarakat masyarakat Indonesia dan pola – pola perkembangannya. Penggunaan pendekatan struktural akan berguna dalam usaha menemukan berbagai aspek perkembangan historis di Indonesia, dimana dramatis personal-nya adalah orang – orang Indonesia sendiri.

  • Konsepnya Hosbown ( 1963 ) : terkenal dengan konsepnya tentang dikotomi gerakan – gerakan sosial. Memandang berbagai bentuk gerakan sosial sebagai kasus – kasus dalam suatu kontinum dari gerakan – gearakan religious sampai kepada gerakan sekuler mengenai pemberontakan tahun 1888 di Banten, masalahnya adalah untuk mengidentifikasikan peranan yang telah dimainkan oleh gagasan – gagasan magic Religi dan Mesionis di dalam geakan itu. Dalam studi mengenai gerakan – gerakan sosial di Indonesia adalah penting sekali untuk mengadakan pembedan yang jelas antara gerakan – gerakan yang kuno dan gerakan – gerakan modern.

  • Konsep konsep sebab – akibat dan kondisi sosial : sebagaimana yang telah dipakai oleh penulis – penulis sepeti mc.Iver (1943), Morriscohem (1947), Dofring (1960), Aron (1961). Alat ini digunakan semata – mata sebagai alat metodologis. Seluruh prosedur analisa dan sintesa harus didasarkan atas suatu rancangan teoritis,dimana konsep – konsep merupakan unsur – unsur utamanya. Didefinisikan sebcara luas, istilah ”kondisi” mengacu kepada suatu motif, variabel atau sebab. Tujuan studi ini tidak hanya untuk melukiskan pa yang terjadi dan kapan. Melainkan juga bagaimana, apa yang terjdi dan kapan, melainkan juga bagaimana dan apa sebabnya hl itu terjdi. Persoalan – persoalan itu jelas mengacu kepada masalah sebab musabab atau faktor – faktor kondisional. 

  •  Pendekatan antara Sosiologi dan Sejarah sebagaimana dipakai oleh penulis – penulis sepeti Worsely (1957), Wilson (1960), Cohn (1961), Hobsbown (1963). Pada umumnya orang terpaksa menggunakan disiplin – disiplin iu mengingat sifat pokok persoalannya itu sendiri serta bahan – bahan yang tersedia. Satu – satunya pokok persoalan yang jelas – jelas memperlihatkan saling ketergantungan yang aktual atau potensial antara sejarah dan soiologi adalh gerakan sosial. Pilihan atas topik ini memberikan kesempatan yang luas untuk mengkombinasikan kedua garis penyelidikan. 
  
  • Konsepnya Max Weber (1964) : konsep mengenai otoritas tradisional, karismatik dan legasl-rasional bisa diuji dlam kaitannya dengan perkembangan politik di Banten Abad XIX. Untuk memperoleh pemahaman yang lengkap mengenaui determinan – deteminan gerakan sosial, kita perlu memperhitungkan proses politik sebagai suatu konsep yang mengacu kepada interaksi antara berbagai unsur sosial yang bersaing untuk memperoleh alokasi otoritas.  

  • Konsep milenarisme : sebagaimana dituliskan oleh Bodrogi (1951), Belandier (1953), Emet (1956), worsley (1957), Kobben (1962), Lanternari (1963). Hal ini relevan bai studi ini karena mengacu kepada peristiwa – peristiwa, proses dan kecenderungan – kecederungan yang ikut membantu timbulnya aliran – aliran anti Barat. Pemberontakan – pemberontakan petani dapat dipandang sebagai gerakan – gerakan protes terhadap masuknya perekonomian Brat yang tidak diinginkan di tahap pengawasan politik, dua hal yang merongrong tatanan masyarakat tradisional.

  • Konsep Transformasi dari Tradisional ke Modernitas : seperti karya – karya Burger (1949 – 1950), Scrike (1955), Wertheim (1959). Dengan mulai berlakunya perekonomian uang, timbulnya buruh upah dan ditegakkannya administrasi pusat, maka terjadilah keruntuhan umum struktur ekonomi dan politik yang tradisional.




  • Konsep Dinamika Kultur Mengenai Aliran – Aliran Mesianik : konsep ini sebenarny dipakai oleh Drewes dalam tulisannya dengan tujuan utamanya adalah analisa teks mengenai aliran – aliran milenari dan mesionik. Konsep ini bertolak belakang dengan penulis buku ini lebih memperhatikan aspek – aspek sosiologis dari gerakan – gerakan sosial itu.  

  • Konsep - konsep struktural mengenai gagasan – gagasan mesianik : Sebagaimana karya Snouck Hugronje yang menyoroti tentang kehadiran Mahdi seperti yang berkembang di negeri – negeri Islam. Gagasan – gagasan ini membawa penulis buku ini (prof.Dr.Sartono Kartodirdjo) kepada kesimpulan bahwa mesianisme, dipandang sebagai filsafat sejarah, mengandung gagasan – gagasan mengenai gerakan sejarah manusia linier dengan memasukkan kedalamnya unsurb siklis.

  • Konsep Gerakan Navistik : oleh penulis di manifestasikan seperti kultus – kultus Cargo di Melanisea, Tari roh di Amerika Utara, Kimbangisme di Afrika, Mahdisme di Afrika Utara dan negeri – negeri Islam lainnya. Semuaya telah dipelajari secara mendalam dan menyeluruh.

  • Konsep perubahan sosial : disintegrasi dan disorganisasi sosial serta hal – hal yang menyertainya pergolakan, konflik dan mobilitas sosial telah diabaikan. Masalah konflik sosial diantara berbagai kelas dalam masyarakat Banten jelas merupakan salah satu masalah yang paling terasa dimana – mana mengenai gerakan – gerakan sosila itu telah dipelajari dari sudut pandang sosiologis, umpamanya oleh Yoder ( 1927 – 1928), Meadows (1943), Steward J. Burger (1944), Heberte (1949), King (1956).

  • Konsep Konflik Sosial : sebagaimana ditulis oleh Leach (1954), Gluckman (1963), Firth (1964), Wertheim (1965). Masyarakat Banten dalam abad XIX merupakan suatu contoh darin situasi konflik yang kronis. Masyarakat Banten tidak lagi dalam kekuatan yang statis dan seimbang, melainkan terdiri dari gologan – golongan yang saling bersaing, yang bersikap antagonistis dan bersengketa satu sama lain, sehingga menyeret masyarakat ketitik kekacauan.

  • Konsep sosio – antropologis : menurut Evan – Pritchard (1961. hal. 14 – 15) gerakan – gerakan sosial karena sifat – sifat dasarnya, menjadi suatu bidang bersama bagi beberapa disiplin. Konsep sosio – antropologis yang dipakai oleh penulis buku ini (Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo) berusaha untuk menyatakan korelasi antara kecenderungan – kecenderungan sosial dengan peristiwa. Peristiwa politik disatu pihak dan pola – pola kultural dipihak lain melibatkan suatu pendekatan sosio – antropologis, lingkup antropologis – sosial adalah identik dengan lingkup apa yang oleh ilmuwan – ilmuwan kontinental dinamakan sosiologi, ditinjau dari segi bidang dan metodenya. Sudut pandangan sosiologi dan antropologi sosial atas dasar suatu orientasi keagamaan atau ideologi golongan – golongan yang merasa dirugikan, yang bertujuan memulihkan apa yang mereka anggap sebagai tatanan tradisional.  

  • Konsep sosio – ekonomis : Berdasar laporan Banten ( Benda – Mc Vey. 1960) yang membahas pemberontakan komunis dalam 1926 – 1927, faktor – faktor yang menyebabkan adanya kecenderungan untuk berontak harus dicarai, maka pertanyaannya adalah sampai sejauh mana antara korelasi antara penetrasi sistem ekonomi barat dan ketidakstabilan situasi sosial yang berkecenderungan untuk meletus menjadi pemberontakan.

  • Konsep korelasi antara milenarisme dan akulturasi : sebagaimana yang dipelajari oleh Barber (1941), Luiton (1948), Wallace (1956, Herkovits (1958), Mair (1958). Menurut penulis buku ini (Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo) pemberontakan itu sebagai hasil suatu gerakan sosial yang telah berlangsung lama, dapat dipandang dari segi akulturasi pada umumnya, dan milenarisme pada khususnya.
  • Kosep agama dan perubahan sosial : yang ditulis oleh Wallis (1943), Yinger (1957), menurut penulis buku ini (Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo). Kita dapat melihat proses – proses perubahan sosial dan gejala – gejala menyertai – konflik sosial, disorganiosasi dan reintegrasi sosial. Berdasarkan sosiologi Agama akan menampilkan proses – proses yang esensial seperti sekularisasi, identifikasi golongan dan escpism.

  • Pendekatan Konvensional dan Historiografi Kolonial : sebagaimana ditulis oleh (Meiinsma 1872 – 1875, Van de Venter 1886 – 1887, Veth 1896 : dapat dilihat dalam bab I ”pendekatan konvensional dalam histriografi kolonial berdasarkan atas fakta dalam pendekatan itu menganggap rakyat pada umumnya dan kaum tani pada khususya hanya memainkan peranan yang sangat pasif saja. Historiografi colonial mengenai abad XIV memberikan tekanan yang besar kepada susunan lembaga – lembaga pemerintahan pada umumnya dan kepada soal pembuatan undang – undang dan pelaksanaannya dan jarang melampaui tingkat struktur – struktur formal.

  • Konsepnya Benda dalam JSAH Mengenai Pendekatan Struktural Terhadap Sejarah Asia Tenggara : Hal ini dapat dilihat dalam bab I : ” oleh karena dianggap sebagai pra politis, tidak artikulat, dan tidak ada hubungannya dengan peristiwa – peristiwa bersejarah yang besar fakta – fakta yang berkaitan dengan gerakan – gerakan sosial itu juga tak mempunyai arti yang besar bagi ahli – ahli sejarah yang tidak menggali lebih dalam dari laporan – laporan sejarah yang terutama bersifat politis, dan yang bertolak dari anggapan bahwa jaringan sejarah politik itu disanggah oleh keragka yang terdiri dari tokoh – tokoh yang terkenal, badan – badan politik dan peperangan. Sejarah yang terlalu mengutamakan politik itu nampaknya tak memuaskan karena perspektifnya sempit : kita harus meninggalkan pendekatan historiografi Kolonial yang mengikuti kecenderungan umum studi sejarah konvensional dengan hanya menyerap fakta – fakta mengenai peristiwa dan episode politik yang besar. Kita harus menembus sampai ketingkat faktor – faktor yang mengkondisikan peristiwa itu. Dilihat dari sudut pandang ini, peristiwa sejarah yang unik menjadi manifestasi kekuatan – kekuatan yang lebih fundamental yang menampakkan diri di permukaan. Satu kelemahan lainnya aspek – aspek struktural sejarah Inonesia, dengan demikian ia tidak dapat menyingkap bukan saja proses – proses sosial dan politik masyarakat Indonesia dimasa lampau. Jelaslah bahwa suatu pendekatan terhadap sejarah Indonesia akan dapat memberikan sorotan yang lebih jelas mengenai berbagai segi masyarakat Indonesia dan pola – pola perkembangannya.

  • Konsepnya Resink : yang menyususn beberapa konsep yang Indonesia sentris. Dapat dilihat dalam bab I : sikap yang Belanda – sentris memandang sejarah Indonesia hanya sebagai sambungan sejarah Belanda, dan oleh karenanya, menurut pandangan itu rakyat Indonesia tidak memainkan peranan yang aktif. 

  •  Konsep Gerakan Milenarisme : Sebagaimana yang ditulis oleh Bodrogi ( 1951), Guiart ( 1951), Pieris (1962), sebuah tijauan yang kompeherensif mengenai gerakan – gerakan milenarisme sebagai perjuangan melawan kekuasaan asing. Hal ini dapat dilihat dalam bab I : ”diantara studi – studi mengenai gerakan – gerakan itu, banyak yang membahas gerakan dalam situasi colonial yang melibatkan suatu penolakan terhadap dominasi penguasa asing.”

  •  Konsepnya Evans Pritchard  mengenai gerakan – gerakan sosial : karena sifat – sifat aslinya menjadi suatu bidang bersama bagi beberapa disiplin. Lingkup antropologi sosial adalah identik dengan lingkup apa yan oleh ilmuwan – ilmuwan continental dinamakan sosiologi. Hal ini dapat dilihat dalam Bab I : yang esensial bagi jenis analisa ini adalah studi menegnai perubahan – peruabahan yang terjadi dalam bentuk dan komposisi pola – pola nilai dalam masyarakat Banten. Usaha untuk mengadakan korelasi antara kecenderungan sosial dan peristiwa – peristiwa politik di satu pihak dan pola – pola kultural di pihak lain melibatkan suatu pendekatan sosio – antropologis. Gagasan milenari digunakan oleh pemimpin – pemimpin agama untuk menghasut rakyat agar memberontak dapat dijelaskan dari sudut pandangan sosiologi dan antropologi sosial atas dasar suatu orientasi keagamaan atau ideologi golongan – golongan yang merasa dirugikan yang bertujuan memulihkan apa yang mereka anggap sebagai tatanan tradisional.




LANDREFORM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Penulis  
Masyarakat Jawa sebagian besar merupakan masyarakat agraris yang memandang tanah sebagai aset penting dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan tanah merupakan sumber daya alam yang diolah untuk keperluan hidup. Tanah bagi masyarakat agraris berfungsi sebagai aset prduksi untuk dapat menghasilkan komoditas hasil pertanian, baik untuk tanaman pangan ataupun tanaman perdagangan.
Posisi penting tanah dalam masyarakat pedesaan Jawa terlihat dari istilah “sedumuk bathuk sanyari bumi, den lakoni taker pati, sanadyan pecahing dhadha wutahing ludira”. Istilah tersebut menunjukkan tingginya apresiasi masyarakat Jawa dalam memaknai tanah, bahkan dalam mempertahankan tanah harus dibela meskipun sampai mati, tidak peduli pecahnya dada dan tumpahnya darah. Hal ini menunjukkan bahwa tiap jengkal tanah berselimutkan kehormatan dan martabat pemiliknya. Tanah dengan demikian merupakan persoalan hidup mati (survival), kepentingan, harga diri, eksistensi, “ideologi”, dan nilai (Sastroatmodjo, 2007:28) 
Permasalahan tanah inilah yang menurut Sartono Kartodirdjo pada akhirnya mampu menggerakan masyarakat, dalam hal ini adalah petani, untuk melakukan gerakan protes petani, sebuah gerakan protes menentang pemaksaan oleh tuan tanah maupun pemerintah. Permasalahan tanah ini pulalah yang dapat memicu gerakan petani lainnya, yakni gerakan messianistis, yakni gerakan yang menginginkan terciptanya dunia baru serba adil, dan gerakan revivalis yakni gerakan yang ingin membangkitkan kejayaan masa lampau.
Tanah menjadi salah satu penyebab berbagai gerakan protes petani. Gerakan protes petani di Klaten tahun 1959-1965 terjadi karena ketidakseimbangan penguasaan tanah yang pada akhirnya memunculkan ketegangan-ketegangan akibat kebijakan pemerintah Republik Indonesia dalam bidang agraria. Masalah tentang tanah dengan demikian menjadi salah satu permasalahan pokok masyarakat petani. Bahkan secara ekstrem dapat dinyatakan bahwa sejarah tentang masyarakat petani adalah sejarah tentang tanah, meliputi penguasaan tanah, hak pengelolaan tanah, tugas dan tanggung jawab pengelola tanah, dan sebagainya.

B.     Metode Penulisan
Pendekatan metode dalam penulisannya menggunakan aliran struktural Parson karena antar struktur yang dibahas saling berkaitan dalam menguraikan gerakan protes di daerah Klaten. Seperti struktur sistem sosial pada stratifikasi masyarakat antara kuli kenceng-kuli setengah kenceng-kuli gundul-pengindung-indung templek-pengindung tlosor berhubungan dengan sistem budaya dalam pembagian tanah warisan sesuai dengan agama yang dianut masyarakat. Sehingga walaupun secara formal oleh pemerintah melarang pemecahan tanaha pertanian, namun di dalam masyarakat masih sering terjadi pemecahan tanah pertanian. Sedangkan pada struktur organisasi, kiprah dari organisasi yang sedang berkembang pesat saat itu seperti BTI (Barisan Tani Maju) menjadi wadah dan mengkoordinir gerakan warga yang merasa kurang puas dengan sistem pemerintah. Slogan-slogan pun bermunculan seperti ”tanah untuk petani penggarap, dan ganyang tujuh setan desa”.

C.    Sumber yang digunakan
  1. terdapat sumber primer dari berbagai arsip agraria maupun keputusan - keputusan pejabat atau laporan bulanan serta tahunan, selain itu juga data statistik serta surat – surat keluar atau masuk dari organisasi yang berhubungan dengan penelitian.
  2. sumber sekunder yang digunakan berasal dari buku – buku yang memiliki hubungan dekat dengan bahasan topik Landreform serta gerakan protes petani di Jawa khususnya di Klaten dari segi organisasi, ekonomi, budaya, ideologi, maupun hukum.
  3. saksi atau pelaku sejarah yang masih hidup hingga tahun 1900an juga turut andil dengan wawancara  atau interview para pejabat serta tokoh di tahun 1964.

D.    Teori yang digunakan
Landreform dan gerakan protes petani Klaten 1959 – 1965 menguraikan tentang jenis gerakan petani yang menentang baik pemaksaan dari tuan tanah maupun pemerintah menurut teori Sartono Kartidirdjo dan menitik beratkan pada segi sosial ekonomi.
Pilihan jangka waktu digunakan untuk mengungkapkan keadaan sebelum dilakukan landreform pada tahun 1961 di daerah Klaten dan akhir jangka waktu dihubungkan dengan gerakan protes petani yang mencapai titik akhir pada tahun 1965, bersamaan juga dengan mulainya penumpasan Gerakan 30 September.

E.     Resensi buku
Kondisi tanah di daerah Klaten yang masih dalam wilayah Karesidenan Surakarta ada beberapa macam. Di wilayah kabupaten Klaten dibagian barat laut, tanahnya mengandung pasir dan abu yang cocok ditanami untuk polowijo dan lazim disebut tanah tegalan. Dan dibagian selatan bersifat liat serta sebagian berkapur yang hanya dapat ditanami saat musin penghujan, tanah seperti ini sering disebut sawah tadah hujan.
Di kabupaten Klaten mempunyai kepadatan penduduk yang tertinggi di Jawa Tengah sehingga berdampak pada tekanan penduduk dan kesempatan kerja. Hal itu juga mempengaruhi stratifikasi sosial yang digolongkan menjadi beberapa lapisan. Lapisan tertinggi ialah kuli kenceng  yaitu yang memiliki sebidang tanah pekarangan dan sawah. Setingkat dibawahnya adalah kuli setengah kenceng yang hanya memiliki sebidang pekarangan saja. Kemudian kuli gundul yaitu seseorang yang tidak memiliki baik tanah maupun sawah. Berlanjut ke pengindung yang mendirikan rumah diatas pekarangan milik orang lain dan berhak menikmati hasil dari pekarangan yang ditempati. Serta Pengindung templek  yang mendirikan bangunan kecil yang digandengkan dengan rumah milik orang lain. Dan lapisan paling bawah ialah  pengindung tlosor yang bertepat tinggal pada suatu keluarga tanpa membawa alat-alat rumah tangga atau bisaanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga dalam suatu keluarga.
Strata sosial yang ada di daerah Klaten mengakibatkan terjadinya mobilitas sosial. Mobilitas yang sering ialah mobilitas vertikal sebagai perpindahan status seseorang yang rendah ke status yang lebih tinggi. Misalnya seseorang yang berstatus pengindung dapat membeli sebidang tanah pekarangan, dengan demikian orang itu berubah statusnya menjadi kuli setengah kenceng.
Aktivitas warga Klaten juga menentukan situasi politik yang terbentuk. Situasi politik yang pada saat itu diwarnai oleh partai komunis atau PKI yang mendapatkan banyak suara dalam pemilu 1955 dan menjadi kekuatan yang terbesar kemudian berturut-turut dibawahnya diikuti oleh PNI, Masyumi, dan Gerindo. Sedangkan untuk organisasi islam posisinya terpecah dalam STII, SBII maupun NU.
Situasi politik juga dapat menentukan kebijaksaanpemerintah atas daerah Klaten. Di daerah Klaten perkembangan hak atas tanah dari ”Apanage Stelsel” sampai sampai masa ”Reorganisasi kompleks pada tahun 1917” kekuasaan tertinggi ada pada raja Surakarta sehingga rakyat dipungut pajak jika menggunakan tanah yang dikuasai raja secara langsung atau tidak langsung. Dalam hal pembayaran pajak raja menyerahkannya pada bekel yang mengkoordinir untuk mengerjakan tanak yang dikuasai raja secara langsung maupun tidak langsung. Dan kekuasaan petani sangatlah lemah karena berkedudukan sebagai buruh atau kuli.
Masa setelah  ”Reorganisasi kompleks pada tahun 1917”  sampai masa ”Rijksbladen” tahun 1938 rakyat diberikan hak atas tanah yang lebih kuat, apanage dihapus, dibentuk kelurahan-kelurahan, dan mengubah dasar sewa tanah dari yang bersifat pribadi menuju kepada hak kebendaan. Status kekuasaan tertinggi atas tanah bukan lagi milik raja, tetapi negara atau pemerintah kasunanan atau kasultanan.
Pada masa selanjutnya setelah ”Rijksbladen tahun 1938” sampai dengan masa ”lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 ” wewenang desa dapat membatalkan hak atas tanah dengan alasan yang pertama menyewaan tanahnya yang dalam perjanjian ada yang dilanggar, hak waris yang tidak segera diurus oleh keluarga seperti persyaratan dari desa, semua kegiatan tentang pertanian sepeeti jual-beli-hibah-gadai yang tidak seizin atau sepengetahuan desa. Hal sepeeti itu membuat desa semakin kuat haknya dalam mengurus hak atas tanah dan seiring dengan itu juga hak petani juga semakin kuat. Dengan masih berlakunya cara penguasaan tanah yang bersifat feodal  dan tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, masuklah komunis dengan menggalangkan dan mengkoordinir para petani yang kuarang puas kedalam organisasi BTI (Barisan Tani Indonesia).
Bentuk-bentuk sirkulasi penguasaan tanah ialah persewaan, penggadaian serta perjanjian bagi hasil atas tanah pertanian dikelola dalam lembaga persewaan yang mnegurusi tentang sewa-menyewa. Lembaga gadai yang berhubungan antara seseorang dengan tanah milik orang lain yang mempunyai hutang kepadanya, selama hutang itu belum dibayar lunas maka, tanah tetap menjadi milik yang meminjamkan uang dan hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai dan mendapatkan bunga dari hutang tersebut. Lembaga bagi hasil mengurusi tentang perjanjian bagi hasil dengan perjanjian yang menggunakan nama apapun yang diadakan antara pemilik di satu pihak dan seseorang dipihak lain atau disebut penggarap yang didalamnya disebutkan tentang bagi hasil.
Serangkaian tindakan lain dalam rangka agrarian Indonesia reform ialah Landreform. Landreform menata kembali aturan – aturan tentang tanah agar masyarakat Klaten lebih makmur. Landreform sebagai Azas-azas pokok yang dapat dijumpai dalam undang-undang poko agraria (UUPA). Kemudian menimbulkan ketidak puasan pada beberapa orang dan menyulut gerakan protes petani kepada pemerintah dan tuan tanah.

BAB II
PEMBAHASAN
SUBSTANSI
A.    Landreform
Pengertian landreform dalam arti luas adalah perombakan undang-undang agraria yang lama diganti dengan yang baru, serta penyelesaiaan masalah-masalah agraria (agararia reform indonesia). Berarti landreform yang meliputi bidang yang lebih luas dari pembaharuan undang-undang agararia saja.
Sedangkan dalam arti sempit landreform menunjukan perubahan mengenai kepemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah. Dalam hal ini landreform merupakan serangkaian tindakan dalam rangka agrarian Indonesia reform. Azas-azas pokok dalam landreform itu dapat dijumpai dalam undang-undang poko agraria (UUPA). Dalam hal ini yang akan dipakai sebagai pembahasan adalah landreform dalam artian sempit(UUPA).
Landreform bertujuan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, meningkatkan taraf hidup petani khususnya, serta seluruh rakayat jelata pada umumnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa landreform bertujuan untuk memperkuat dan memperluas pemilikan tanah, bagi seluruh rakyat Indonesia terutama kaum tani. Tujuan landreform di Indonesia adalah: (a) untuk melakukan pembagian yang adil atas sumber kehidupan tani berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian yang adil pula. Merombak struktur pertahanan sama sekali revolusioner guna merealisasikan keadialn sosial. (b) untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani, supaya tanah tidak menjadi alat pemerasan. (c) untuk memperkuat dan memperluas hak milk atas tanah bagi setiap warga Negara Indonesia. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap hak milik.hak milik adalah hak yang yang terkuat yang bersifat perorangan dan turun temurun. (d) Untuk mengakhiri system tuan tanah dan dan menghapus pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran denga cara menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga. Dengan demikian ada pemberian perlindungan terhadap golongan yang ekonomis lemah.
Majelis permusyawaratan rakyat sementara di dalam ketetapanya No. II/MPRS/1960, tentang garis-garis besar pola pembangunan semesta berencana dalam tahapan pertama.1961-1969 dalam pasal 4 ayat 3 menyebutkan bahwa landreform sebagai bagian mutlak dari pada revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan alat penghisapan.
Dalam rangka meningkatkan pertanian rakyat maka soal landreform merupakan suatu hal yang penting untuk memperbesar kepastian hukum mengenai pemilikan tanah untuk para petani dengan demikian akan memperbesar kegairahan bekerja baginya. Demikian antara lain isi statement wakil perdan menteri bidang ekonomi dan pembangunan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 12 april 1966. Dinyatakan pula dalam statement itu suatu harapan agar pelaksanaan landreform dapat mempertinggi produksi pertanian yang jatuh ketangan petani yang berhak menerimanya.
Pokok penentuan mengenai larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas maksimum diatur di dalam UUPA di dalam UUPA pasal 7, di tetapkan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan dari penjelasannya, dapat diketahui bahwa pasal tersebut bemaksud untuk mencegah dan mengakhiri dan mencegah
Diakui atau tidak, pelaksanaan landrefrom 1960-1965 lah yang paling siap. Bila dilihat dari segi dukungan pemerintah, politisi serta kesiapan organisasi rakyatnya, terutama organisasi tani saat itu. Dua syarat ini selalu menjadi titik tekan untuk keberhasilan program landreform. Namun pelaksanaan landreform di era itu tetap gagal, bahkan nyaris tidak ada bekasnya kecuali UUPA No.5/1960.
Bercermin dari kegagalan landreform tahun 1960-1965, maka tantangan terbesar dari Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) adalah menemukan dan menentukan pendukung utama untuk menghadang kekuatan anti landreform yang dipastikan akan bereaksi.
Sejak Awal pemerintah sebetulnya sudah memahami bakal terjadinya ketimpangan atas penguasaan pemilikan tanah. Karena itu, pemerintah menerbitkan UU No 56 PRP Tahun 1960 dan PP No 224 Tahun 1961 tentang landreform Pada waktu itu, mungkin juga dinilai sangat tepat.Yang dijadikan tanah landreform itu adalah pertama, tanah negara bebas dan diredistribusikan ke masyarakat. Kedua, tanah pertikelir. Di zaman Belanda dikenal pertuanan tanah. Seorang tuan tanah bisa memberikan tanah kepada seseorang. Ketiga, kelebihan maksimum. Pada Peraturan Pemerintah No 224 Tahun 1961 itu ada pembatasan pemilikan penguasaan maksimum atas tanah, baik tanah pertanian (sawah atau darat). Oleh negara, tanah kelebihan itu diambil dengan memberikan ganti rugi. Dulu ada yang namanya yayasan dana land reform yang dibentuk sejak tahun 1960. Jadi, setiap ada pemilikan penguasaan lahan yang melebihi ketentuan, maka diberikan ganti rugi.
Sumber landreform lainnya adalah tanah absentee, yakni tanah pertanian yang dikuasai oleh seseorang di luar kecamatan atau di luar kecamatan yang berbatasan dengan tanah itu. Ini juga merupakan sumber-sumber tanah landreform. Sekarang tersebut tanah negara bebas sudah tidak ada lagi. Tanah partikelir juga tidak ada lagi. Demikian pula, tanah kelebihan maksimum, tidak ada lagi. Sementara, tanah absentee tidak efektif. Pasalnya, bukan apa-apa karena mendapatkan KTP di Indonesia itu sangat mudah. BPN itu tidak mempunyai hak uji material. Sehingga dalam memproses sertifikat tanah itu, kalau sudah sesuai dengan prosedur maka sertifikatnya dikeluarkan. KTP tidak bisa diuji benar atau palsu oleh BPN. Asal memenuhi ketentuan maka pasti dikaji. ”Itu yang sebetulnya tidak efektif, sehingga banyak masyarakat kota dengan mudah memiliki tanah di daerah.

B.     Gerakan Protes Petani di Daerah Klaten
  1. Gerakan protes petani terhadap pemerintah
Keresahan sosial atau apa yang bisaa yang bisa disebut sebagai sosial unrest yang telah berlangsung lama akan menimbulkan keegangan-ketegangan di dalam masyarakat. Puncaknya, ledakan tersebut dapat menyebabkan pertentangan terbuka. Pertentangan di masyarakat pedesaan daerah Klaten antara lain tampak dalam bentuk penganiayaan oleh seseorang atas orang lain, pertentangan antarkelompok petani serta gerakan protes yan ditujukan kepada pemerintah.
      Gerakan protes petani terhadap pemerintah di dalam menyewa tanah untuk kepetingan perkebunan sudah ada sejak 1962. Pada tahun ini, Bupati Klaten mengeluarkan peraturan yang berhubungan dengan persewaan tanah untuk perusahaan perkebunan. Di dalam pertauran itu ditetapkan bahwa petani diwajibkan menyerahkan satu patok tanahnya serta penanaman tanman perkebunan yang mempergunkan sistem glebangan. 
      Dengan dikeluarkannya peraturan Bupati tersebut, petani merasa dirugikan. Diantara mereka ada yang menolak kebijaksanaan pemerintah dengan sikap memperlambat waktu penyerahan tanah, tidak mau menerima uang sewa, atau bahkan menolak sawahnya disewa oleh perushaan perkebunan. Petani yang bersikap seperti itu terdapat di kecamatan Jogolawan yang meliputi tujuh kelurahan: Granting, Prawatan, Joton, Tambakan, Rejoso, dan Sumyang. Diantara petani yang memprotes tersebut ada seorang petani yang menjadi anggota dari Persatuan Tani Nahdlatul Ulama (PERTANU). Ia bernama Wartiono.
Protes petani nampak pada aksi pembakaran perkebunan tebu dan los tembakau. Menurut laporan Kepala Polisi Distrik Padan, pada April 1964 sebagian besar tanaman tebu yang terletak di kelurahan Sentono kecamatan Karangdowo mengalami banyk kerusakan. Yang mendapat pertentangan dari petani bukan hanya perusahaan perkebunan yang mengusahakan tanaman tembakau dan tebu saja, tetapi juga yang mengusahakan tanaman rosella. Sedangkan gerakan protes petani di kecamatan Karanganom berbentuk penolakan pembayaran uang muka (voorschot) uang sewa dan menolak untuk menyerahkan sawahnya.

  1. Gerakan protes petani terhadap tuan tanah
      Gerakan protes petani terhadap tuan tanah di daerah Klaten untuk kali pertama terjadi pada Februari 1964 yang dikenal dengan aksi sepihak (aksef). Sebelum gerakan aksef terjadi, CS PKI Klaten menyelenggarakan pertemuan terbuka di lapangan kota Klaten yang dinamakan “Laporan Ceramah Pertanggungjawaban PKI”. Tidak lama setelah gerakan aksef terjadi, di gedung Tong Hoo Klaten diselenggarakan konferensi BTI. Disebutkan bahwa BTI turut bertanggungjawab untuk mengatasi masalah sandang pangan, melaksanakan UUPA dan UUPBH, mengganyang Malaisya dan tuan tanah, yang berlandaskan kepada perjuangan kelas buruh dan petani miskin serta kegotongroyongan untuk mengemban Ampera berporoskan Nasakom.
      Aksef yang terjadi di daerah Klaten, antara lain bertujuan untuk: (1) merebut kembali tanah yang telah disewakan; (2) merebut kembali tanah yang telah digadaikan; (3) merebut kembali tanah yang sudah dijual; (4) mempertahankan tanah OG yang telah dilelang oleh orang lain. Para pejabat di Klaten menduga bahwa konferensi BTI itu berpengaruh terhadap gerakan aksef yang timbul di daerah Klaten. Gerakan aksef yang terjadi pada Maret 1964 antara lain bertujuan untuk merebut kembali sawah yang disewakan. Petani yang meminta paksa sawahnya pada umumnya adalah anggota BTI dan cara meminta kembali sawah yang disewakan itu juga melalui organisasi BTI.
      Sehubungan dengan banyaknya protes petani yang terjadi, beberapa pejabat pemerintah mengemukakan pendapatnya tentang kebijaksanaan pemerintah tersebut. Tentang Undang-Undang Nomor 38 tahun 1960 yang mengatur tentang penggunaan dan penetapan luas tanah untuk tanaman tertentu. Bupati Klaten mnegakui bahwa undang-undang tersebut kurang sempurna.
Organisasi-organisasi politik rupanya saling berlomba untuk memperoleh dukungan dari rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut antara lain tampak dengan diselenggarakannya pertemuan, rapat serta ceramah. Di dalam laporan politik kabupaten Klaten 1964 da awal 1965 kegiatan PKI beserta massanya hamper selalu tercantum. Kegiatan tersebut dilukiskan sebagai berusaha memperkuat organisasinya dengan aktif yang diikuti oleh organisasi buruh, pemuda, tani, maupun wanitanya antara lain kegiatan tersebut bertujuan untuk memperdalam pengetahuan berorganisasi yang didasarkan pada ajaran Marxisme/Leninisme.
        Dalam menyebarkan ideologiya, organisasi poitik aktif melakukan kegiatan. Untuk mencapai usaha tersebut, masing-masing organisasi memiliki cara yang berbeda. BTI lebih menekankan gerakannya pada sekitar kehidupan petai miskin dan buruh tani. Sedangkan PNI selain berusaha memperluas pengaruhnya di kalangan petani, juga di kalangan pejabat. Organisasi yang bersifat keagamaan, misalnya NU dan Muhammadiyah, aktif memperluas pengaruhnya lewat pengajian. 

 BAB III
PENUTUP

Simpulan

Dengan mengambil unsur pembaharuan hukum agraria sebagai bagian dari lendreform, maka dapat dikatakan bahwa sejak masa pemerintahan tradisional lendreform telah dilaksanakan di kabupaten Surakarta. Dengan dasar yang berbeda, ledreform pada tahun 1960 menunjukkan kaitannya dengan gerakan protes petani di daerah Klaten.
Apabila perubahan mengenai pemilikan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah merupakan unsur dari lenreform tahun 1960, maka kenyatan-kenyataan di daerah Klaten yang berhubungan dengan pelaksanaan lendreform adalah sebagai berikut:
Struktur tanah di daerah Klaten pada umumnya pecah-pecah dan letaknya berpencar-pencar. Keadaan semacam ini mengakibatkan menurunnya efisiensi produksi. Konsentrasi penguasaan tanah ada hubungannya dengan jabatan pamong desa. Di kalangan masyarakat pedesaan, penguasaan tanah masih merupakan ukuran terhadap tinggi rendahya status seseorang.
Di antara bentuk-bentuk penguasaan tanah untuk sementara, lembaga bagi hasil adalah yang paling tua. Beberapa bentuk penguasaan tanah untuk sementara yang masih ada di dalam masyarakat Klaten adalah lembaga persewaan dan bagi hasil, sedangkan lembaga gadai sudah jarang ditemui.
Dengan lendreform pemerintah berusaha meningkatkan taraf hidup petani. Cara yang ditempuh oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut anatara lain: (a) menciptakan keseimbangan di dalam penguasa tanah; (b) mengusahakan agar produksi pertanian setinggi mungkin; serta (c) di dalam pembagian hasil pertaian agar dilaksanakan dengan adil. Melalui lendreform pula, pemerintah berusaha melindungi petani yang lemah ekonminya, misalnya petani yang menggadaikan sawahnya.
Salah satu gerakan yang timbul di Klaten, bertujuan untuk menebus kembali tanah yang digadaikan. Pelaksanaan lendreform di daerah Klaten belum mencapai sasarannya. Beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut antara lain: (a) belum terbentuknya panitia lendreform tingkat desa di seluruh wilayah kabupaten Klaten; (b) di dalam melaksakan lendreform panitia kabupaten maupun panitia di tingkat desa masih melakukan pelanggarakan terhadap undang-undang lendreform, serta: (c) pada umumnya pemilik tanah menolah untuk melaksanakan bagi hasil menurut ketentuan dalam UUPBH.
Pada tahun 1960-1965 di daerah Klaten timbul gerakan petani. Dari gerakan-gerakan yang terjadi, beberapa hal yang perlu dicatat adalah sebagai berikut:
-          Tujuan gerakan. Pada tahun 1960-an tujuan gerakan banyak ditujukan kepada pemerintah, sedangkan pada tahun 1964-1965 sasaran gerakan lebih banyak ditujukan kepada tuan tanah. Gerakan protes petani muncul dengan alasan yang berbeda-beda, tetapi pada umumya sebab yang utama adalah karena uang sewa yang terlalu rendah. Di dalam melakukan gerakan petani bisaanya dibantu oleh ratusan orang. Karena melalui prosedur resmi mereka tidak memperoleh persetujuan, maka mereka menempuh cara kekerasan yang disebit dengan aksi sepihak atau aksef.
-          Pengaruh dari organisasi tertentu terhadap gerakan gerakan petani. Yang dapat diketahui dengan jelas adalah keterlibatan seorang petani asal Gantiwarno, Wartiono sebagai salah seorang anggota PERTANU. Sedangkan tentang gerakan aksef telah mendapat pengaruh dari BTI. Kendati demikian tidak seluruhnya pelaku gerakan adalah anggota BTI.
-          Sistem organisasi yang teratur. Untuk memobilisasi anggotanya. BTI telah mempergunakan komunikasi dengan baik. Ketaatan terhadap pimpinan organisasi cukup tinggi.
-          Pola kepemimpinan berkisar pada pejabat tingkat desa beserta keluarganya. Kecakapan berbicara dan sifat pemberani merupakan dasar otoritas terhadap pengikut-pengikutnya. Dari peristiwa aksef dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara frekuensi timbulnya gerakan dengan dengan tigkat kesuburan tanah karena jangka waktu persewan seringkali mencapai puluhan tahun. Di daerah subur pula, perjanjian bagi hasil tradisional, yaitu sistem mertelu dengan sromo maupun mrapat masih berlaku. Hal ini dibuktikan dengan gerakan yang timbul di daerah Wonosari di wilayh kabupaten Klaten yang paling subur.
Daftar Pustaka
 

  1. Padmo,Soegianto.2000. Landreform dan Gerakan Protest Petani Klaten 1959 - 1965 . Yogyakarta:Media Pressindo
  2. Sastroatmodjo, Sudijono. 2007. “’Sedumuk Bathuk Senyari Bumi’, Regulasi Tanah dan Demo Rakyat (Petani) dalam Menyoal Hak Atas Tanah”. Kompas Mahasiswa. Edisi 79 tahun 2007. Hlm. 28-35.